Selasa, 29 Januari 2013

Mereka Memang Lahan yang Subur

Oleh :  Hera Anggarawaty

            Keponakanku memang pintar dan lucu. Sebagaiman tante yang lain pada umumnya, akupun sangat menyayanginya. Seringkali aku membawa keponakanku sejak masih balita ke berbagai pengajian yang aku hadiri. Baik bersama ibunya, yaitu adikku, atau tanpa ibunya. Bahkan seringkali ‘bedol desa’, yaitu ibuku aku ajak juga. Bahkan ketika keponakanku bertambah, aku bawa serta juga.
Pikirku dengan mengajaknya ke berbagai pengajianku, bisa diibaratkan sekali merengkuh dayung dua tiga pulau terlampaui. Waktuku untuk menghadiri pengajian tidak terganggu, sementara keponakannu masih bisa aku ajak jalan-jalan. Aku pikir, ‘jalan-jalan’ ke pengajian atau ke masjid lebih bermanfaat dan padat ilmu.
            Pengajian interaktif paling aku sukai untuk aku kunjungi bersama keponakanku. Pada forum interaktif seperti itu, kita bisa bertanya dan berpendapat. Sehingga sekaligus dapat memberikan teladan kepada keponakanku untuk berani bicara di depan umum dan berani mengemukakan pendapat. Apalagi ketika keponakanku sudah masuk usia  Taman Kanak Kanak, forum inilah yang paling favorit untuk dikunjungi. Karena dengan cara ini, aku bisa mendorong keponakanku untuk berani berpendapat jika sedang belajar dikelasnya. Tentu saja dengan kapasitas umurnya yang masih usia TK.
             Pernah aku dengar bahwa Margareth Theacher, mantan Perdana Menteri Inggris yang terkenal dengan sebutan Kupu-kupu besi itu, sejak kecil sering dibawa oleh ayahnya untuk menghadiri forum-forum politik yang konon menjadikan dia berani dan lantang, hingga muncul julukan itu. Hal ini juga yang merupakan salah satu faktor pendorongku untuk mengajak keponakanku. Yang jelas faktor utamanya tentu saja karena perintah Allah untuk mendidik anak dengan baik dan mencintai ilmu. Salah satu caranya adalah dengan mengajaknya ke majlis-majlis ilmu. Bukankah Rasulullah SAW telah pula berpesan pula kepada kita umatnya, bahwa anak itu ibarat kertas putih bersih,  orangtuanyalah yang menjadikan dia Majusi, Nasrani, atau Islam.
Anak-anak memang merekam peristiwa-peristiwa di sekelilingnya. Termasuk materi pengajian yang aku datangi. Pernah suatu saat setelah keponakanku baru selesai dimandikan, saat itu kira-kira dia berusia 3 tahun. Sekonyong-konyong dia bertanya kepadaku, “Wa, khilafah itu apa?”
Kagetnya diriku. Aku agak gelagapan juga untuk menjawabnya. Bukan berarti aku tidak tahu, tetapi aku bingung bagaimana menjelaskan kata itu dengan kata-kata yang bisa dimengerti oleh anak usia 3 tahun.
Sambil berpikir apa yang harus aku katakan, aku balik bertanya,” Neng, dengar kata itu dari mana?”
”Dari pengajian di masjid Wawa,”katanya, sambil asyik memainkan botol minyak kayu putih.
Pada saat itu yang terucap dari bibirku hanyalah,”Khilafah itu negara, Sayang.” ”Negara yang di dalamnya diatur dengan aturan Islam.” Jawabku sekenanya, sambil kuamati ekspresi wajahnya. Tetapi dari wajah keponakkanku itu tidak nampak kebingungan.
Keponakankku hanya mengatakan,”Ooh.” Entah mengerti atau tidak. Yang jelas menjadi pelajaran bagiku untuk kreatif dalam menjawab pertanyaan seorang anak. Siapapun mereka.
Pada saat yang lain diusia yang sama, pada suatu pengajian interaktif, aku memberikan pendapatku. Tetapi karena saat itu aku sedang haidh sehingga tidak bisa masuk masjid, aku hanya memberikan pendapat di pintu terdekat dengan podium. Aku lihat keponakanku memperhatikanku dengan seksama. Setelah aku selesai memberikan pendapatku, dia bertanya padaku,”Wa, kok Wawa bicaranya di luar, tante sama teteh yang lain bicaranya ke depan (ke podium)?” tanyanya heran.
Aku tertegun. Wah, bagaimana juga nih cara menjelaskannya? Kembali dengan kesadaranku yang semakin tersentuh, aku menjawab,” Karena Wawa nggak bisa masuk ke masjid, Sayang.” Dia terdiam. Tidak bertanya lebih lanjut. Kembali aku tersadarkan pada kukurangkreatifan aku selama ini. Wah…ini tidak bisa dibiarkan, bathinku. Aku harus semakin bisa menjelaskan hal apapun dengan benar, namun tetap dengan bahasa yang masih bisa dipahami anak seusia itu.
Kadang-kadang, aku juga mendapatkan giliran untuk menjadi penyampai materi. Tentu saja ini moment bagus untuk semakin baik dalam mencontohkan dan menanamkan kepercayaan diri pada keponakanku. Selain itu, aku ajak dia untuk belajar memberikan kritik yang membangun. Pernah aku sengaja meminta pendapat keponakanku ketika giliran aku menjadi penyampai materi. Waktu itu usianya 5 tahun. Memang aku tidak punya target untuk mendapatkan jawaban yang memuaskan berkaitan dengan penampilanku di depan forum. Karena tidak mungkin kan anak seusia itu bisa memberikan pendapat sesuai yang kita harapkan? Terus terang aku hanya iseng saja. Hanya untuk menghabiskan waktu dalam perjalanan dari masjid ke jalan raya tempat pemberhentian kendaraan umum. Dalam perjalanan pulang, sambil ku gandeng pundak kecilnya aku bertanya,”Neng, tadi waktu Wawa bicara di depan, bagus nggak?”
Dia bilang,”Bagus.” Tapi…,”
“Tapi apa?” tanyaku lagi.
“Tapi waktu Wawa lupa harus bilang apa, Wawa jadinya bilang … euh…euh…, ga enak dengernya…pusing deh Eneng..”
Aku tersenyum mendengarnya. ”Iya tadi Wawa ada yang lupa, tapi nanti-nanti lebih wawa siapin lagi deh,…biar nggak lupa…”Kataku.
Tanpa aku sadari, Aku berjalan sambil tersenyum dan geleng-geleng kepala. Ah, keponakanku, kamu memang pintar. Aku jadi teringat sebuah puisi yang pernah aku temukan dalam sebuah buku komunikasi. Sebuah puisi indah yang ditulis oleh Dorothy Law Nolte  yang menceritakan hubungan pendidikan orang tua dengan pembentukan karakter anak-anak. Saya cuplikkan sebagai bahan renungan kita bersama:
Anak Belajar dari Kehidupannya
Jika anak dibesarkan dengan celaan, Ia belajar memaki.
Jika anak dibesarkan dengan permusuhan, Ia belajar berkelahi.
Jika anak dibesarkan dengan cemoohan, Ia belajar rendah diri.
Jika anak dibesarkan dengan penghinaan, Ia belajar menyesali diri.
Jika anak dibesarkan dengan toleransi, Ia belajar menahan diri.
Jika anak dibesarkan dengan dorongan, Ia belajar percaya diri.
Jika anak dibesarkan dengan pujian, Ia belajar menghargai.
Jika anak dibesarkan dengan sebaik-baiknya perlakuan, Ia belajar keadilan.
Jika anak dibesarkan dengan rasa aman, Ia belajar menaruh kepercayaan.
Jika anak dibesarkan dukungan, Ia belajar menyenangi dirinya.
Jika anak dibesarkan dengan kasih-sayang dan persahabatan,
Ia belajar menemukan cinta dalam kehidupan.
(diambil dari Psikologi Komunikasi , J. Rahmat. Hlm. 102-103).




Bandung, 30 April 2007



Untuk dua bidadari kecilku : Zahra I.I dan Mumtaz N.A.

Cat:
Wawa : panggilan untuk Ua (kakak ibu/ayah), tetapi sudah dimodifikasi.
Neng/Eneng : panggilan untuk anak perempuan bagi orang Sunda.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar