Kamis, 17 Januari 2013

Ah Ibu, Cintamu Itu...

Oleh: Hera Anggarawaty 
Aku sangat dekat dengan kedua keponakanku yang lucu-lucu. Kakaknya bernama Zahra usianya memasuki 5,5 tahun, sedangkan adiknya Mumtaaz berusia 1,5 tahun. Mereka selalu menyambutku gembira setiap ketika aku pulang, baik itu pulang dari pengajian atau pulang kerja. Terkadang mereka aku bawakan oleh-oleh. Sengaja aku membawa oleh-oleh kadang-kadang saja, supaya tidak menjadi kebiasaan. Bahkan seringkali aku telah menyediakan oleh-oleh, tetapi jika mereka tidak memintanya, aku simpan saja. Aku berikan, jika mereka memintanya.
Namun, kali ini kejadiannya berbeda. Seperti biasanya, dua kakak beradik yang lucu itu menyambutku dengan gembira. Melihat sambutan mereka, aku jadi teringat, bahwa aku tidak membeli sesuatupun hari itu. Juga tidak ada sesuatupun yang aku simpan, untuk jadikan oleh-oleh.
Oeh-oeh, Wa. Oeh-oeh.” Teriak Mumtaaz dengan celotehnya yang masih belum jelas. Tak kalah lucu, Zahra punya cara yang simpatik sebelum meminta oleh-oleh. Ketika aku mulai masuk rumah, disambut dengan tawaran manis dari Zahra.
          “Wa,  haus ya? Mau minum?”tanyanya dengan lucu.
”Iya. Mau dong, Sayang.” jawabku.
”Mau air dingin atau air teh manis anget, ”Katanya dengan huruf R yang masih belum jelas. Semakin membuat aku gemas.
“Air putih yang dingin aja. Memangnya sudah bisa bikin teh manis hangat?” Jawabku.
“Kalau air angetnya Ummi yang sediain, nanti dikasih teh celup, dikasih gula, sama dikoceknya, sama Eneng.” Jawabnya, sambil berjalan ke dapur.
Tidak lama kemudian dia membawa segelas air putih.
“Nih, Wa!”
“Aduh, pintarnya.” Jawabku. “Wawa bangga deh, punya keponakan yang pintar dan sholehah.”
“Sini, Wawa sun dulu.” Mmuah.
 “Makasih, yaa.”Kataku.
“Iya.” Jawabnya sambil malu-malu.
Wa, Wa,  mmm bawa oleh-oleh nggak?” lanjutnya.
Aku terdiam sejenak. “Aduh, maaf. Wawa nggak bawa oleh-oleh.” Jawabku dengan menyesal. Sementara Mumtaaz masih berceloteh sambil bergelayutan di kakiku. Lalu lari kesana-kemari.
Eng..Eneng pengen oleh-oleh, “ kata Zahra sambil agak merengek.
“Kita beli aja. Yu! “ Kataku.
Kontan saja, mendengar aku mau ke luar bersama Zahra, Mumtaaz berlari hendak mengikuti.
“Tapi jangan beli permen, jangan beli kerupuk, atau chiki-chikian!” kataku memberi syarat.
“Iya.” Jawab Zahra.
“Chacha juga ya! Jangan beli permen, kerupuk, sama chiki-chikian.” Kataku. Dengan lucunya mumtaaz mengangguk.
ooOoo

Tiba di warung, aku mengingatkan lagi pada mereka untuk tidak membeli kerupuk, chiki ataupun permen.  Mereka kembali mengangguk. Aku agak geli juga melihat wajah mereka yang nampak seperti sedang berpikir untuk memilih jajanan yang mau mereka beli. Padahal biasanya Mumtaaz akan heboh nunjuk ini nunjuk itu jika kebetulan dibawa ke warung, walaupun tidak selalu dipenuhi keinginannya. Sebab, kami-orangtuanya dan seluruh orang dewasa di rumah kami- berupaya agar mereka tidak terbiasa jajan. Kalau sewaktu-waktu mereka kami perbolehkan membeli makanan di luar, itupun dengan seleksi makanan yang cukup ketat.
Melihat mereka seolah berpikir untuk memilih makanan. Pikiranku menerawang jauh ke belakang. Pada saat usiaku hampir seusia dengan Zahra.
Waktu itu, aku baru pulang berobat dari rumah sakit bersama ibuku. Waktu itu aku harus berobat ke rumah sakit secara periodik. Dan setiap pulang berobat ibuku selalu menawariku untuk membeli makanan. Sebagaimana yang terjadi pada hari itu.
”Mau jajan nggak” Tanya ibu
Aku mengangguk mengiyakan. Ibu menarik tanganku menuju sebuah kios kue di dalam rumah sakit tersebut.
”Ayo mau beli apa?” tanya ibu lagi.
Aku ingat, waktu itu aku mencoba memilih.
“Beli susu kemasan kotak saja, “usul ibu.
Aku kembali mengangguk.
”Yang mana? ”tanya ibu lagi
”Yang srawberry,” jawabku, sambil menunjuk susu kemasan kotak dengan kemasan berwarna merah muda.
Lalu ibu meminta mengambilkan susu kemasan kotak kepada pelayan. Anehnya walaupun aku menunjuk susu dengan rasa strawberry, ibu tetap meminta susu dengan kemasan berwarna biru yang berasa vanilla (susu putih).
Hampir selalu begitu jika aku pulang dari rumah sakit. Kadang aku menunjuk kemasan warna coklat, yang artinya susu dengan rasa coklat. Tetapi seolah  memenuhi keinginanku, ibu meminta pelayan untuk mengambilkan susu kemasan kotak. Tetapi lagi-lagi justeru yang diminta ibu susu kemasan kotak rasa vanilla.
Pernah aku merengek agar diberi sesuai pilihanku. Tetapi dengan tegas ibu mengatakan lebih baik yang putih. Kejadian tersebut terus berulang. Sampai akhirnya aku pasrah saja. Sebab seringkali aku pilih yang satu, ibu memberiku pilihannya, yang tentu saja berbeda dengan pilihanku. Susu kemasan kotak rasa vanilla. Mungkin karena seringnya, kejadian ini sangat tertanam dalam benakku.
Pernah ketika aku sudah menginjak remaja dengan iseng aku tanyakan pada ibu apa penyebabnya. Pada saat itu aku bertanya pada ibu disaat sedang bercengkrama dengan anggota keluarga yang lain, termasuk ketiga adikku yang juga telah berangkat remaja. Dan ternyata adikku mengalami hal yang sama. Maka adikupun menanyakan hal yang sama kepada ibu. Lalu apa jawab ibu?
”Bukan apa-apa.” Jawab ibu. ”Ibu takut pewarna yang ada pada susu itu bukan pewarna makanan yang aman. Ibu pikir susu putih (rasa vanilla) lebih  aman. Ibu takut pewarna makanan itu berbahaya buat kalian.” jawab ibu dengan bijaknya.
Ah ibu. Ketika aku kecil sempat terpikir olehku. Ibu kok tidak memperhatikan keinginan anak. Ibu kok ngasihnya itu-itu aja.
Pantas saja ibu pernah memarahi aku ketika aku membeli kerupuk yang berwarna merah mencolok. Bahkan warna merah itu membuat air kencing menjadi merah. Ah ibu ternyata sikapmu itu untuk keselamatan kami. Sikapmu itu karena cinta dan kasih sayangmu kepada kami. Ah ibu, cinta dan kasih sayangmu memang tiada duanya.
            Pernah juga suatu ketika aku berbincang berbagai hal dengan teman-teman kuliahku, termasuk kebiasaan jajan pada waktu kecil. Pengalamanku dengan ibuku ini aku ceritakan pada mereka. Juga tentang jawaban ibu, setelah aku menanyakan alasannya. Teman-temanku kagum pada ibu dan mereka berkomentar,”Bagus ya ibu kamu. Dari dulu sudah memperhatikan keamanan makanan. Coba ibuku, aku pingin apa saja, dikasih. Tanpa mempertimbangkan zat pewarnanya aman atau tidak.”
ooOoo

            ”Wa, Wa, Teteh  beli susu aja.” Kata Zahra membuyarkan serpihan bayangan masa kecilku.
”Susu apa?” tanyaku.
“Ini susu kemasan kotak, “jawab Zahra sambil mengambil susu kemasan kotak rasa Coklat.
“Nggak ada yang putih ya, Bu?” tanyaku pada penjualnya.
“Oh. Tidak ada, Teh. Adanya yang coklat aja.”Jawab si penjual.
“ Yaah. Sayang ya. Ya. Sudah. Dua, Bu.” Kataku sambil menyodorkan selembar uang sepuluhribuan. Mudah-mudahan bukan zat pewarna berbahaya, bathinku.
”Chacha susu aja, sama dengan teteh ya!” Kataku.
Mumtaaz mengangguk. Entah, mungkin dalam hatinya protes juga seperti waktu aku kecil dulu. Karena biasanya dia memilih kerupuk.
Jangan protes yaa. Wawa sayang sama kalian. Seperti Nenek sayang sama Wawa. Bisik hatiku, sambil ke kecup ubun-ubun kedua anak itu.300407 ^_^



Tulisan ini dibuat untuk bunda tersayang dan kedua keponakanku^_^.

Chacha: panggilan untuk Mumtaaz.

2 komentar:

  1. Balasan
    1. makasih..teh nia..hm..jd ada ide untuk judul tulisan sy nih dr komen nya teh nia..salam kenal..;)

      Hapus