Feminisasi dalam sosiologi, merupakan
pergeseran dalam peran gender dan peran seks dalam kelompok, masyarakat, atau
organisasi ke arah fokus pada feminin, sebagai kebalikan dari fokus budaya pada maskulinitas.
Walaupun gerakan feminis lahir di Barat disebabkan perlakuan masyarakat Barat
terhadap perempuan sebagai warga kelas dua, namun feminisasi ini menjadi
kampanye global tidak saja di Negara-negara Barat, namun juga di negeri-negeri
muslim.
Hal ini disebabkan tingkat kemsikinan yang
relatif tinggi di negeri-negeri muslim
disertai visi pembangunan yang mengarah pada pertumbuhan ekonomi telah
melahirkan pandangan akan perlunya kaum perempuan untuk mengambil peran dalam
bidang ekonomi ini. Sementara itu penerapan sebagian hukum syariat Islam di
beberapa wilayah negeri muslim telah dianggap sebagai halangan terhadap
maksimalisasi peran perempuan. Termauk sistem patriarki, telah dianggap sebagai
batu sandungan yang juga harus dienyahkan, karena memunculkan kesenjangan
gender. Selain itu,faham barat juga begitu deras menerpa masyarakat muslim baik
resmi ataupun tidak resmi.
Oleh karena itu gerakan feminisme di
negeri-negeri muslim mengarah pada diwujudkannya Undang-Undang yang menuju pada
kesetaraan gender, dengan didukung oleh rejim yang berkuasa, legislator, maupun
masyarakat sipil. Upaya ini dimuluskan dengan maksimalisasi peran media dalam
mencetak opini di tengah masyarakat.
Feminisasi ini
merupakan langkah nyata dalam memerangi kesenjangan gender yang dianggap
menjadi penghalang kemajuan bagi perempuan dan masyarakat dunia, maka Feminisasi
merupakan upaya untuk mewujudkan kesetaraan gender.
Agenda
Feminisasi di Indonesia
Indonesia sebagai salah satu negeri muslim juga merupakan
sasaran gerakan feminisasi. Apalagi di beberapa wilayah di Indonesia diterapkan
sebagian syariat Islam dalam bentuk Perda Syariah. Maka kaum sekuler/liberal berupaya untuk
memperbaharui atau melakukan sekulerisasi hukum sosial Islam, hukum keluarga,
dan hukum-hukum yang berkaitan dengan perempuan di negeri-negeri muslim, tidak
terkecuali di Indonesia.
Oleh karena itu gerakan ataupun ide
feminisme telah membidik kebijakan pemerintah Indonesia atau daerah untuk
melakukan sekulerisasi hukum atau undang-undang dan mengabadikan kesetaraan
gender dan kebebasan liberal ke dalam konstitusi Negara. Agar nampak lebih
halus, maka kalangan liberal juga mempromosikan ide Feminisme Islam. Sehingga
akan terlihat seolah-olah ide feminisme juga sangat familiar dengan ide-ide
Islam. Dalam hal ini, mereka berupaya memelintir ayat-ayat Al Qur’an maupun
hadist untuk ditafsirkan sesuai dengan ide
feminisme.
Selain itu kaum liberal juga secara politik
dan opini di media, melakukan monsterisasi terhadap hukum-hukum sosial dan
keluarga dalam Islam. Karena seperti kita ketahui dalam sistem demokrasi
sekuler terdapat empat kekuatan yang saling berkaitan untuk melanggengkan
sistem tersebut, yaitu eksekutif, legislatif, yudikatif dan media massa.
Adapun
hukum sosial Islam
seperti larangan khalwat, kewajiban memakai jilbab, hukum keluarga, dan
hukum-hukum yang berkaitan dengan perempuan yang mereka agendakan untuk
di’rekontruksi’ semisal tentang kepemimpinan perempuan. Aturan Islam
yang meletakan kepemimpinan pada laki-laki seringkali dibidik oleh kaum feminis
sebagai penyebab terjadinya kesenjangan gender dan ketidakadilan terhadap
perempuan, sebab dengan pola kepemimpinan dalam Islam para feminis menganggap
bahwa perempuan telah tersubordinasi dan
tidak berdaya.
Tentang perwalian,bahwa dalam Islam hak wali ada pada
laki-laki, hal ini juga dianggap sebagai ketidakberdayaan perempuan yang harus
direkontruksi., termasuk hukum-hukum Islam tentang hukum aborsi, hak waris, pernikahan dini, dan sebagainya. Target
rekontruksi atas hukum-hukum sosial dan keluarga tersebut adalah untuk
menjadikannya sejalan dengan prinsip-prinsip Barat.
Oleh karena itu kaum feminis berupaya untuk
mempengaruhi kebijakan pemerintah Indonesia, baik kebijakan nasional ataupun
daerah agar dilakukan sekulerisasi hukum atau undang-undang dan mengabadikan
kesetaraan gender dan kebebasan liberal ke dalam konstitusi Negara, seperti
meghapus kepemimpinan suami. Maka disahkan UU PKDRT (Penghapusan Kekerasan
dalam rumah tangga),Amandemen UU Perkawinan, dan melahirkan CLD KHI (Counter
Legal Draft Konstruksi Hukum Islam).Akibat langsung atas hal ini, justeru kasus
gugat cerai semakin meningkat. Buktinya pada tahun 2009 terjadi perceraian sebanyak 10 persen, dan
meningkat menjadi 14,6 persen pada akhir 2013.
Bahkan BKKBN melaporkan bahwa angka perceraian di Indonesia tertinggi
se-Asia Pasifik.Dan 70 persen
perceraian terjadi karena gugat cerai dari pihak istri.
Dengan prinsip kebebasan beragama, berpendapat, dan
berperilaku maka ide feminisme juga merambah hak anak dengan melakukan
liberalisasi anak dengan disahkannya UU Perlindungan Anak, UU Kewarganegaraan,
pembatasan usia nikah dalam amandemen UU Perkawinan, CLD KHI dan lain-lain. Hal
ini bukannya melindungi hak anak, justeru berakibat meningkatnya dekadensi
moral dan Krisis agama.
Ide feminisme dan liberalisasi juga mengarah pada
legalisasi seks bebas dan aborsi, maka muncul kebijakan pemerintah semisal
amandemen UU Kesehatan Reproduksi dan Program kesehatan reproduksi remaja. Maka
kasus “Married by accident” semakin marak, pada gilirannya tindakan
aborsi pun turut meningkat. Data
Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) menunjukkan
bahwa. jumlah seks bebas dikalangan
remaja mengalami peningkatan. Usia pelaku seks bebas kian lebih muda. Data BKKBN melansir, remaja berusia 10-14
tahun yang melakukan seks bebas mencapai 4,38 persen, sedangkan pada usia 14-19
tahun mencapai 41,8 persen. Dan 2,4 juta aborsi pada tahun 2012, dilakukan
remaja usia pra nikah atau tahap SMP dan SMA.
Upaya
kalangan liberal untuk mempromosikan ide Feminisme Islam.
Seperti
telah disinggung pada paparan di atas, kalangan feminis liberalis juga berupaya
untuk mempromosikan ide feminisme Islam di negeri-negeri mayoritas muslim. Hal ini
dilakukan pertama, dengan pendekatan metode berfikir yang mengarah pada penafsiran
ayat-ayat Al Qur’an maupun hadist atas dasar akal. Ayat yang biasa digunakan sebagai
sandaran untuk menyimpangkan ajaran Islam adalah al Quran surat al-Hujurot ayat
49…”Sesungguhnya yang paling mulia di antara kalian adalah yang paling
bertakwa”.
Dikatakan bahwa tidak ada perbedaan antara pria dan wanita,
karena yang membedakannya di sisi Allah hanyalah ketakwaan. Selanjutnya ayat
ini dijadikan sebagai asas untuk menyatakan bahwa Islam mendukung kesetaraan 50/50, atau mereka
menyebutnya sebagai kaidah “al musawah”.
Berdasarkan kaidah ini, ayat-ayat lainpun ditafsirkan sejalan dengan
prinsip kesetaraan. Bila ada ayat yang tidak sejalan dengan prinsip ini, maka
ayat tersebut diplintir maknanya atau diubah agar sesuai dengan kaidah al
musawah tersebut.
Dengan demikian, maka penafsiran waris pun menjadi 50/50;
peluang kepemimpinan pria dan wanita adalah 50/50, hak kesaksian juga 50/50,
demikian halnya hak talak dan hukum-hukum lainnya pun mengikuti kaidah ini.
Penafsiran nash-nash al Quran dan hadist telah diselewengkan untuk mendukung
proyek kesetaraan gender 50/50 sebagaimana telah ditetapkan oleh lembaga PBB
UNDP dengan cara yang sangat halus.
Kedua, propaganda negatif untuk memojokkan
Islam. Syariat atau hukum Islam
dicitrakan menghambat kesetaraan. Hukum Islam dalam masalah rumah tangga
seperti kewajiban istri taat kepada
suami, perlakuan suami “menghukum” istri yang tidak taat (nusyuz) dan poligami
dipropagandakan sebagai bentuk-bentuk kekerasan terhadap perempuan. Padahal
tindak kekerasan terjadi karena kelemahan dan kebodohan umat Islam sendiri yang
mengabaikan hukum-hukum Islam, mengabaikan hak dan kewajiban antar suami-istri.
Contoh lainnya seperti hukum sunat perempuan juga sering
dijadikan alat untuk memojokkan Islam,
karena dianggap bias gender.
Tujuan
atas upaya-upaya kalangan liberal tersebut adalah :
1. Kepemimpinan
rumah tangga bukan milik laki laki. Kendali kepemimpinan itu harus diraih
perempuan, agar ketertindasan perempuan dalam rumah tangga dapat diraih.
Kebebasan dan kemandirian perempuan pun dapat terwujud.
2. Menghapuskan sistem kewajiban mencari
nafkah dari pundak suami, karena akan menyebabkan ketergantungan perempuan
terhadap laki-laki.
3. Menghapuskan konsep ketaatan pada suami,
karena hal ini dianggap sebagai penyebab dominasi satu pihak terhadap pihak
lainnya, yaitu dominasi laki-laki terhadap perempuan.
4. Menghapuskan hukum tentang nusyuz, karena
dianggap melegalisasi kekerasan dalam rumah tangga dan menghambat kebebasan
perempuan.
5. Mengopinikan bahwa perkawinan bukan ibadah,
namun aktivitas sosial biasa, bisa laki-laki dengan perempuan, perempuan dengan
perempuan atau laki-laki dengan laki-laki.
6. Menghapuskan konsep mas kawin (mahar)
7. Tidak perlu aqad nikah, cukup dengan
kesepakatan antara suami dengan istri agar kedudukan laki- laki dan perempuan
setara.
Menangkis Serangan Feminisasi
Serangan kaum liberal terhadap pandangan Syariah tentang perempuan,
serta hukum-hukum sosial Islam dan hukum keluarga harus ditangkis
dengan mematahkan kebohongan/ tudingan yang berkaitan dengan hukum-hukum
semisal :´ perwalian yang mereka anggap menyebabkan
perempuan menjadi inferior dari laki-laki;
´ Kewajiban mencari nafkah yang
jatuh pada laki-laki dianggap
memunculkan ketergantungan finansial perempuan kepada laki-laki yang mengakibatkan
perempuan menjadi rawan akan kemiskinan; atau
´ pernikahan dini yang dianggap
seperti kekerasan terhadap anak;
´ hukum-hukum sosial yang dianggap sebagai rintangan atas kerjasama
antara laki-laki dan perempuan di dalam masyarakat, dan sebagainya.
Hak
wali, kewajiban mencari nafkah, hukum tentang mahar, ataupun masalah poligami
yang sering diserang oleh para pengusung ide feminisme,acapkali dianggap telah
memarginalkan perempuan. Sebab, hukum-hukum tersebut dianggap telah menjadikan
perempuan sangat tergantung pada laki-laki,dan sangat tidak berdaya.Padahal
justeru dengan hukum-hukum tersebut Islam telah memuliakan perempuan.
Kebolehan
nikah muda dalam Islam, kewajiban menutup aurat, dan keharusan adanya izin bagi
perempuan ketika hendak ke luar rumah dari suami atau wali, sering dianggap
oleh para aktivis feminisme sebagai pengekangan Islam terhadap perempuan.
Padahal dengan hukum-hukum tersebut Islam justeru telah melindungi perempuan.
Buktinya
ketika aturan Islam diterapkan secara kaaffah, perempuan sangat terjaga
keamanannya.kemuliaannya maupun kehormatannya. Jangankan untuk masalah perempuan, untuk masalah manusia yang lainnya
pun terjaga dengan baik. Maka angka kriminal di daulah Islam sangat
sedikit,disebabkan pemerintah Islam yang sangat memperhatikan riayah su’unil
ummat. Islam tidak hanya memuliakan perempuan tetapi memuliakan manusia
seluruhnya baik muslim maupun non muslim yang menjadi warga negara daulah
Islam.
Rasulullah Muhammad SAW bersabda, “Aku wasiatkan kepada kalian untuk berbuat baik kepada para
perempuan.” (HR Muslim: 3729). Hadits itu jelas tidak hanya
ditujukan bagi para wali, suami atau mahrom perempuan saja. Tapi lebih
dari itu, seruan itu ditujukan pula bagi penguasa yang berkewajiban untuk
melangsungkan pengurusan kemashlahatan rakyat.
Keterjagaan,
dan perlindungan terhadap perempuan pada sistem Kapitalisme justeru tidak
didapatkan sama sekali.Yang ada justeru perempuan dieksploitasi, ditarik ke
ranah publik secara paksa agar dapat dipekerjakan untuk menekan angka
kemiskinan. Sistem Kapitalisme selain tidak mampu menjaga kemuliaan perempuan,
justeru malah membuat seluruh manusia terpuruk pada titik nadir kemanusiaannya,
bahkan menghilangkan sisi kemanusiaannya sama sekali, semisal fenomena LGBT
(Lesbian, Gay,Biseksual, dan Transgender).
Maka tuduhan terhadap hukum-hukum Islam yang dianggap
mengekang ataupun memarginalkan perempuan, sungguh tidak berdasar sama sekali. Penerapan
syariah Islam dengan thariqah-nya justeru akan mengatasi masalah yang dihadapi
hari demi hari oleh perempuan dalam aspek-aspek kehidupan yang berbeda, yang
diakibatkan oleh penerapan sistem Kapitalisme– misalnya kekerasan, ketiadaan
akses terhadap suara politik, kemiskinan, hilangnya hak-hak secara hukum,
ketidakadilan, akses rendah terhadap pendidikan atau kesehatan, dan sebagainya.
Firman
Allah SWT ,”Tiadalah Kami mengutus engkau (Muhammad) melainkan sebagai rahmat
bagi seluruh alam. (QS al-Anbiya’ []: 107).
Syaikh an-Nawawi al-Jawi,
dalam tafsir Marah Labid (Tafsir Munîr) Juz
II/ 47, menafsirkan ayat itu dengan menyatakan, “Tidaklah Kami mengutus engkau,
wahai makhluk yang paling mulia, dengan berbagai peraturan (bi syarâ’i‘) melainkan sebagai rahmat bagi seluruh
alam, dalam agama maupun dunia, sebab manusia dalam kesesatan dan kebingungan.
Allah SWT mengutus Nabi Muhammad saw. untuk menjelaskan kepada manusia jalan
menuju pahala, menampilkan dan memenangkan hukum-hukum syariat Islam, membedakan
yang halal dari yang haram. …”
Dengan demikian,
pengertian rahmatan lil ‘âlamîn itu
terwujud dalam realitas kehidupan tatkala Muhammad Rasulullah saw.
mengimplementasikan seluruh risalah yang dia bawa sebagai rasul utusan Allah
SWT. Lalu bagaimana jika Rasul telah wafat? Rahmat bagi seluruh alam itu akan
muncul manakala kaum Muslim mengimplementasikan apa yang telah beliau bawa,
yakni risalah syariat Islam dengan sepenuh keyakinan dan pemahaman yang
bersumber pada al-Quran dan as-Sunnah. Manakala umat Islam telah jauh dari
kedua sumber tersebut (beserta sumber hukum yang lahir dari keduanya berupa
Ijma Sahabat dan Qiyas) dan telah hilang pemahamannya terhadap syariat Islam,
maka tidak mungkn umat ini menjadi rahmat bagi seluruh alam; justru dunia rugi
lantaran kelemahan pemahaman kaum Muslim terhadap syariat Islam. Oleh kerena
itu, berbagai upaya untuk menutupi syariat Islam dan upaya menghambat serta
menentang diterapkannya syariat Islam pada hakikatnya adalah menutup diri dan
menghalangi rahmat bagi seluruh alam.Maka dibutuhkan adanya institusi Negara
yang dapat menerapkan syariah dengan thariqohnya yang lurus, yakni dengan khilafah. Karena
tidak akan bisa hanya dengan masuk ke parlemen yang bertujuan untuk mempengaruhi kebijakan.
Penutup
Ide feminisme ini lahir dalam konteks sosio-historis
khas di Barat, terutama pada abad 19-20. Ketika itu, kaum perempuan tertindas oleh
sistem masyarakat liberalis-kapitalis.
Oleh karena itu upaya mentransformasikan ide-ide ini ke tengah-tengah
umat Islam—padahal Islam sangat memuliakan perempuan—jelas merupakan
generalisasi yang dipaksakan dan secara ilmiah tentu saja tidak dapat
dipertanggungjawabkan.
Ide ini merupakan
turunan dari pemikiran kapitalisme-sekularisme, yang lahir dari akidah
pemisahan agama dari kehidupan yang menafikan kewenangan Sang Khalik dalam mengatur kehidupan. Hal ini nampak ketika feminisme memberikan
solusi terhadap problema yang ada tidak menyandarkan pada satu dalil
syariatpun. Ini jelas sangat
bertentangan dengan Islam.
Keberadaan
gerakan-gerakan ini telah mengkondisikan kaum muslimin untuk meridhai ide-ide
yang ditawarkan sekaligus menjadi pengembannya, sekalipun harus sedikit demi
sedikit mengikis keyakinan mereka akan kesempurnaan aturan Islam. Atau berupaya melakukan sinkritisme antara
ajaran Islam dengan ide-ide batil ini melalui labelisasi ide-ide tersebut
dengan stempel Islam.
Ide feminime ini juga
telah memunculkan ketimpangan dan keguncangan struktur
masyarakat dan keluarga yang ditandai dengan maraknya kasus-kasus perceraian,
dekadensi moral seperti free sex, anak-anak generasi ekstasi dan
sebagainya.Pada
gilirannya, ide ini makin menjauhkan kaum
muslimin dari gambaran keagungan dan keunikan masyarakat Islam dengan aturan hubungan sosialnya yang
manusiawi sekaligus memadamkan cita-cita
kaum muslimin untuk hidup dalam masyarakat Islam. Padahal
jika yang diterapkan hukum Islam, yang merupakan hukum yang tepat dari Allah
Yang Maha Sempurna, maka kemaslahatan dan kemuliaan manusia akan terwujud. Firman
Allah Swt,”Apakah hukum Jahiliyah yang
mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah
bagi orang-orang yang yakin ? (TQS Al Maidah:51) 2021032015^_^
*Makalah untuk forum diskusi, direkontruksi oleh Hera Anggarawaty,dari :
1. Agenda Feminisasi untuk
menerang syariat Islam : ppt jalsah siyasiah Februari 2015 oleh Najmah Saiidah
2. Strategi Feminisasi di Indonesia
oleh dr.Arum Harjanti
3.http://hizbut-tahrir.or.id/2012/04/04/krisis-ideologi-dan-solusi-syariat-islam/
4.sumber-sumber lainnya