Selasa, 15 Januari 2013

POLEMIK POLIGAMI BERAROMA POLITIS

Oleh :  Hera Anggarawaty

Seperti banyak dikabarkan media massa baik cetak maupun elektronik, bahwa pemerintah bermaksud untuk melarang poligami secara meluas dengan merevisi UU perkawinan yang ada yang masih membolehkan poligami. Berkaitan dengan hal ini Presiden RI Susilo Bambang Yudoyono telah memanggil Menteri Pemberdayaan Perempuan Meutia Hatta dan Dirjen Bimbingan Masyarakat Depag Nazaruddin Umar ke Istana Kepresidenan (Metronews.com.5/1/2006).
Dikatakan bahwa pertemuan ini juga sekaligus menanggapi situasi yang berkaitan dengan tokoh-tokoh publik akhir-akhir ini, yang berpoligami. Konon, semenjak Aa Gym mengumumkan pernikahan keduanya, banyak masuk sms kepada Presiden dan Ibu Negara Ani Kristiani Yudhoyono perihal poligami ini. Sehingga dalam metronews.com disebutkan, bahwa “banyak keluhan masyarakat”, terutama kaum ibu yang masuk kepada Presiden dan ibu Kristiani Yudhoyono. Menurut Meutia Hatta, Peraturan Pemerintah Nomor 45 akan direvisi. Larangan poligami akan diperluas, bukan hanya untuk pegawai negeri sipil (PNS), tetapi juga pejabat negara, TNI/POLRI dan  masyarakat umum.
Seperti telah diketahui  bahwa perkawinan di Indonesia diatur dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Selain itu, ada juga Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 yang direvisi menjadi PP No. 45 Tahun 1990 mengatur izin perkawinan dan perceraian bagi PNS. PP 45, antara lain, menetapkan PNS yang akan bercerai wajib memperoleh izin dari atasan. Begitu pula PNS pria yang akan beristeri lebih dari seorang. Selain itu, PNS pria harus mencantumkan alasan yang lengkap bagi yang akan beristeri lebih dari seorang. Atasan yang diminta izin wajib mempertimbangkan dan meneruskan ke pejabat berwenang. Sementara PNS wanita tidak diizinkan menjadi isteri kedua, ketiga atau keempat. PNS yang melanggar ketentuan itu dijatuhi salah satu hukuman disiplin berat. Menurut Nazaruddin, sering kali peraturan itu dilanggar. Untuk antisipasi, akan ada penertiban terhadap KUA dan pelaku poligami

 Lebih beraroma politis
Poligami sebenarnya telah terjadi sejak berabad-abad silam, sebelum Islam datang, yang mana laki-laki beristri lebih dari satu bahkan tidak terbatas. Sejak datangnya Islam, justeru poligami dibatasi, yakni seorang laki-laki hanya boleh beristeri paling banyak empat orang, jika lebih dari empat orang maka  diharamkan.
Selama praktek poligami yang dilandasi dengan hukum Islam berjalan, permasalahan ketidakadilan atau ketertindasan perempuan tidak muncul. Hal ini terbukti dengan banyaknya para sahabat Nabi yang berpoligami, tetapi tidak ada masalah. Demikian juga para suami yang berpoligami pada masa sekarang, selama segala sesuatunya dilandasi Islam maka tidak terjadi masalah.
  Jika menelisik permasalahan poligami yang akhir-akhir ini kembali mencuat di tengah masyarakat, dan “cepat tanggapnya” pemerintah, terlihat lebih bernuansa politis, yakni upaya liberalisasi Indonesia dan stigmatisasi syariat Islam, sehingga masyarakat menilai negatif terhadap syariat Islam. Betapa tidak, pemerintah begitu  cepatnya merespon opini masyarakat tentang poligami ini, yang disebut oleh Menteri PP, sebagai upaya presiden dalam memperhatikan masyarakatnya disebabkan moral obligation (terikat secara moral).  Sementara permasalahan lain yang lebih krusial bahkan lebih membutuhkan penyelesaian cepat, tidak ditanggapi serius.
Tengok saja RUU Anti pornografi dan Pornoaksi yang kini masih belum tuntas, sementara tayangan pornografi dan pornoaksi di media massa makin menggila saja. Dengan masih maraknya tayangan pornografi dan pornoaksi, pelecehan seksual pemerkosaan, pergaulan bebas, kumpul kebo dan perbuatan mesum lainya banyak terjadi. Poligami yang dilandasi dengan ikatan perkawinan yang jelas dan sesuai hukum Allah SWT hendak dilarang sementara perzinahan, pergundikan, isteri simpanan seolah dilegalkan. Bahkan tempat prostitusi dilokalisasi, yang artinya secara halus dibolehkan. Tengok pula apakah presiden cepat tanggap dengan kasus perbuatan mesum Anggota DPR? Padahal perbuatan buruk yang dilakukan pejabat negara sangat memprihatinkan, dan menjadi sinyalemen buruk akhlak pejabat negara. Baru kepolisian saja yang akan mengusut kasus ini dan bukan atas permintaan presiden. Bagaimana pula dengan kasus pemberantasan korupsi yang masih tebang pilih? Bagaimana tanggapan presiden mengenai masalah kelangkaan minyak tanah? Bagaimana tanggapan presiden tentang dijual bebasnya kondom dengan harga yang murah pula? Alih-alih menghambat penyebaran Aids malah justeru memarakkan pergaulan bebas, perselingkuhan,  pelacuran, dan semacamnya. Sungguh presiden tidak tanggap terhadap solusi yang tidak solutif tersebut!
Tidak dijelaskan jumlah sms yang diterima oleh Presiden dan Ibu Negara, dan masyarakat umum tidak mengetahuinya dengan pasti, tetapi tanggapannya luar biasa instan. Bandingkan dengan tanggapan presiden terhadap aksi sejuta umat yang telah mengerahkan segenap daya upaya dengan melakukan aksi damai untuk menolak pornografi dan pornoaksi, yang telah menggoyang Jakarta ketika the silent majority ini menyuarakan aspirasinya. Tidak ada. Tidak ada upaya presiden untuk melakukan pressure agar RUU APP tersebut segera disahkan. Kontradiksi sekali dengan permasalahan poligami ini, yang mana presiden dengan segera memerintahkan untuk merevisi UU perkawinan. Mengapa alasan moral obligation presiden tidak berlaku untuk masalah pornografi dan pornoaksi?
Upaya pemerintah yang hendak memberikan sanksi bagi pelaku poligami, seperti yang dikatakan Menneg PP Meutia Hatta, bahwa revisi akan dilakukan secepatnya dan saat ini pihaknya sedang mempersiapkan hal-hal yang harus diubah termasuk mengenai pengenaan sanksi bagi yang melanggar peraturan tersebut (gatra.com). Dengan kenyataan ini pemerintah  seolah telah menganggap poligami sebagai tindakan kriminal. Sungguh sangat mengherankan, poligami yang dibolehkan oleh Allah SWT, justeru pemerintah sebagai manusia hendak menganggap tindakan kriminal terhadap yang melaksanakannya. 

Feminis : merilis lagu lama

                Yang menjadi pertanyaan siapa “masyarakat yang mengeluh itu”? Toh banyak juga masyarakat yang tidak mempermasalahkan poligami. Menanggapi pernikahan kedua Aa Gym, tidak sedikit masyarakat yang memberikan ucapan selamat kepada Aa Gym, Teh Ninih dan Mbak Rini sebagai isteri kedua Aa Gym. Justeru yang terlihat adalah adanya sekelompok orang di tengah  masyarakat, yang menginginkan terjadinya liberalisasi di Indonesia dan mencap buruk syariat Islam melalui stigma negatif terhadap hukum poligami.
                Seperti telah diketahui permasalahan poligami sering diangkat oleh kaum feminis untuk menyuarakan ide-ide feminis yang cenderung beraroma liberalisme dengan berkedok  ide pemberdayaan perempuan dan kesetaraan gender. Kaum Feminis ibarat menemukan momentum yang tepat berkaitan dengan ramainya pro dan kontra pernikahan kedua Aa Gym ini untuk kembali menyuarakan isu poligami yang  mereka anggap sebagai simbol ketertindasan perempuan. Oleh karena itu mereka menyambut baik upaya pemerintah untuk melarang poligami ini. Upaya Feminis untuk mengangkat kembali isu poligami, seakan merilis lagu lama  untuk dinyanyikan kembali.
Banyak tuduhan yang dilontarkan kaum feminis untuk mencemarkan poligami. Diantaranya, pertama; poligami menularkan penyakit. Seperti yang disebutkan oleh Musdah Mulia bahwa poligami menyebabkan rawannya tertular penyakit, semisal keputihan yang berlebihan (detik.com). Padahal sudah menjadi rahasia umum justeru pergaulan bebas, perselingkuhan, pelacuran dan yang semacamnya yang telah terbukti banyak menularkan penyakit berbahaya semisal Aids.
Kedua, poligami menyebabkan perempuan tertindas. Adanya praktik poligami yang tidak sesuai tuntunan  Islam seolah menjadi legitimasi atas pendapatnya itu. Padahal jika praktik poligami didasari tuntunan Islam tidak akan menjadikan perempuan teraniaya/tertindas. Justeru dengan dibiarkannya pelacuran, perselingkuhan, isteri simpanan, gundik dan semisalnya  itulah yang justeru memunculkan ketertindasan perempuan. Dalam kondisi tersebut perempuan tidak ditempatkan dengan terhormat, dan menurunkan derajat perempuan.
Ketiga,poligami menyuburkan perceraian dan perebutan harta gono-gini. Apa tidak terbalik? Justeru dengan pelarangan poligami akan menyebabkan banyaknya perceraian. Sebab, para laki-laki yang sudah berpoligami akan menceraikan isterinya. Para pasangan yang tidak dikaruniai keturunan akan bubar, demi  diperolehnya keturunan, sementara mereka betul-betul menginginkan keturunan bukan anak angkat, dan pada saat yang sama sangat menyayangi isterinya. Para feminis seolah tidak melihat banyak juga praktik poligami yang mewujudkan keluarga tentram dan sakinah mawaddah wa rahmah.
Keempat poligami menelantarkan anak dan isteri pertama. Banyak praktik poligami yang tidak menyebabkan hal ini terjadi, apalagi jika benar-benar praktik poligaminya didasarkan aturan Islam. Sebagaimana yang dilaporkan oleh Indo Pos, 21 Agustus 2006, bahwa di Utah, Negara Bagian AS telah terjadi unjuk rasa mendukung poligami dari anak-anak yang orang tua mereka melakukan praktik poligami. Mereka membantah sinyalemen selama ini bahwa kehidupan mereka tidak bahagia. Mereka mengaku kalau kehidupan mereka dengan ibu lebih dari satu justru menjadi berkah dan membawa kebahagiaan. Dalam aksi yang juga didukung Principle Voices of Polygamy, anak-anak itu mendoakan para orang tua dan keluarga mereka.
Hayam Dorbek 42 th, ibu dua anak justeru mengajak wanita Mesir untuk mempromosikan suami mereka agar menikah lagi (hidayatullah com). Apalagi dengan kesibukannya dalam pekerjaan, baginya, sang suami tidaklah cukup mempunyai satu orang istri saja, katanya dikutip Associated Press (AP), (29/8/2005) Dia merasakan, konsep Islam tentang poligami justru jawaban bagi banyak dari penyakit sosial di Mesir. Karena itu, dirinya pernah menulis artikel berjudul "Satu Isteri Tidaklah Cukup," dan telah membantu suatu asosiasi bernama "Al-Tayseer," atau pemberian kemudahan, untuk mempromosikan poligami. Lebih lanjut Dorbek menuturkan bahwa berpoligami, ujarnya, akan menghentikan kebiasaan buruk termasuk budaya affair, sebagaimana dilakukan para pejabat tinggi. Gempuran dan rasa sinisme terhadap poligami, menurut Dorbek adalah akibat gencarnya arus sekularisme dari Barat dan merusak Islam. "Arus sekular dalam masyarakat telah memberangus suara Islam dan mengaburkan mereka," katanya
                Oleh karena itu tuduhan-tuduhan feminis tidak cukup beralasan.  Justeru semakin terlihat meyakinkan bahwa kaum feminis  telah mengarahkan masyarakat kepada arus budaya liberal, dan telah mempengaruhi masyarakat untuk memandang negatif hukum Islam.
               
 Islam tentang poligami
                Islam telah membolehkan kepada seorang laki-laki untuk beristri lebih dari satu orang dan sekaligus membatasi jumlahnya, yakni maksimal empat orang istri, dan mengharamkan lebih dari itu. Hal ini didasarkan firman Allah Swt. berikut:
Nikahilah wanita-wanita (lain) yang kalian senangi masing-masing dua, tiga, atau empat—kemudian jika kalian takut tidak akan dapat berlaku adil, kawinilah seorang saja—atau kawinilah budak-budak yang kalian miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat pada tindakan tidak berbuat aniaya. (QS an-Nisa’ [4]: 3).
Ayat di atas diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. pada tahun ke-8 Hijrah untuk membatasi jumlah istri pada batas maksimal empat orang saja. Sebelumnya sudah menjadi hal biasa jika seorang laki-laki mempunyai istri banyak bahkan tanpa ada batas. Dengan diturunkannya ayat ini, seorang Muslim dibatasi hanya boleh beristri maksimal empat orang saja, tidak boleh lebih dari itu. (Nidzom ijtima’i fil Islam, Taqiyudin An nabhani). Jadi poligami bukan sunnah, apalagi wajib. Akan tetapi hukum poligami dalam Islam adalah mubah (boleh), yang berarti dilaksanakan silakan, tidak dilaksanakan juga dipersilahkan.
Dalam lanjutan kalimat pada ayat di atas terdapat ungkapan: Kemudian jika kalian khawatir tidak akan berlaku adil, nikahilah seorang saja. Artinya, jika seorang pria khawatir untuk tidak dapat berlaku adil (dengan beristri lebih dari satu), Islam menganjurkan untuk menikah hanya dengan seorang wanita saja.  Jika ia lebih suka memilih seorang wanita, itu adalah pilihan yang paling dekat untuk tidak berlaku aniaya. Inilah makna dari kalimat: yang demikian adalah lebih dekat pada tindakan tidak berbuat aniaya.
Namun, keadilan bukanlah syarat kebolehan berpoligami. Hal ini terdapat dalam ungkapan ayat: Nikahilah wanita-wanita (lain) yang kalian senangi dua-dua, tiga-tiga, atau empat-empat. Ayat ini mengandung pengertian mengenai kebolehan berpoligami secara mutlak. Kalimat tersebut telah selesai sebagai sebuah kalimat sempurna. Sedangkan kalimat berikutnya: Kemudian jika kalian khawatir…..Kalimat ini bukan syarat, karena bukan merupakan bagian dari kalimat sebelumnya, tetapi sekadar kalam mustanif (kalimat lanjutan). Artinya, perkara ini merupakan hukum syariat yang berbeda dengan hukum syariat yang pertama. Yang pertama adalah bolehnya berpoligami sampai batas empat orang, kemudian muncul hukum yang kedua, yaitu lebih disukai untuk memilih salah satu saja jika dengan berpoligami ada kekhawatiran pada seorang suami tidak dapat berlaku adil terhadap istri-istrinya.
                Keadilan memang dituntut atas seorang suami yang berpoligami terhadap istri-istrinya. Akan tetapi maksud keadilan disini bukanlah keadilan yang bersifat mutlak, tetapi keadilan yang memang masih berada dalam batas-batas kemampuan sebagai manusia untuk mewujudkannya. Sebab, Allah Swt. tidak memberi manusia beban kecuali sebatas kemampuannya, sebagaimana firman-Nya:
Allah tidak akan membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. (QS al-Baqarah [2]: 286).
Menurut an-Nabhani, kata ta‘dilû pada ayat yang dimaksud berbentuk umum, yakni berlaku bagi setiap bentuk keadilan. Akan tetapi, kata yang bersifat umum ini di-takhsîs (dikhususkan), yakni sesuai dengan kemampuan alami manusia, berdasarkan ayat berikut:
Sekali-kali kalian tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri kalian walaupun kalian sangat menginginkannya. Oleh karena itu, janganlah kalian terlalu cenderung (kepada salah seorang istri yang kalian cintai) hingga kalian membiarkan istri-istri kalian yang lain terkatung-katung. (QS an-Nisa’ [4]: 129).
Melalui ayat di atas Allah menjelaskan, bahwa manusia tidak akan dapat berlaku adil dalam hal-hal tertentu. Hanya saja, harus disadari, hal ini tidak berarti bahwa Allah menganiaya manusia. Sebab, Allah berfirman:
Tuhan kalian tidak akan pernah menganiaya seorang manusia pun. (QS al-Kahfi [18]: 59).
                Ketidakmampuan manusia berlaku adil sebagaimana yang ditunjukkan dalam al-Quran surat an-Nisa’ ayat 129 di atas, Ibn ‘Abbas menjelaskan bahwa ketidakmampuan yang dimaksud adalah dalam perkara kasih sayang dan syahwat suami terhadap istri-istrinya. Sebaliknya, selain dalam dua perkara ini, seorang suami akan mampu berlaku adil kepada istri-istrinya. Keadilan selain dalam kasih sayang dan syahwatnya inilah, yang sebetulnya dituntut dan diwajibkan atas para suami yang berpoligami, seperti masalah giliran tinggal, pemberian  pakaian, makanan, tempat tinggal, dll. Semantara itu, keadilan dalam hal kasih sayang dan kecenderungan syahwatnya bukanlah sesuatu yang diwajibkan atas mereka. Hal ini dikuatkan oleh Hadis Nabi saw., sebagaimana dituturkan ‘Aisyah r.a.:
Rasullullah saw. pernah bersumpah dan berlaku adil seraya berdoa, “Ya Allah, sesungguhnya aku bersumpah atas apa yang aku sanggupi. Oleh karena itu, janganlah Engkau memasukkanku ke dalam perkara yang Engkau sanggupi tetapi tidak aku sanggupi. (yaitu hatinya). (HR Abu Dawud).
Yang dimaksud dengan hatinya dala hadits di atas adalah rasa cinta atau kasih sayang dan syahwat suami kepada isteri. Oleh karena itu, jika poligami dilakukan sesuai dengan aturan Islam, maka ketertindasan yang dituduhkan oleh kaum feminis tidak akan terjadi, karena Islam menegaskan untuk tidak berlaku aniaya atau tidak adil kepada isteri-isterinya. Bahkan walaupun masalah kasih sayang dan syahwat bukan perkara yang diwajibkan untuk adil, Islam telah memerintahkan kepada laki-laki yang berpoligami untuk tidak menampakkan kecenderungan kepada salah satu isterinya di hadapan  isteri yang lainnya. Sebagaimana yang telah disebutkan dalam QS.An Nisa :129 dan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad :
Siapa saja yang mempunyai dua orang wanita (istri), kemudian ia cenderung kepada salah seorang di antara mereka, niscaya ia akan datang pada Hari Kiamat kelak dengan berjalan sambil menyeret salah satu pundaknya dalam keadaan terputus atau berat sebelah. (HR Ahmad).

Poligami sebagai solusi

                Ada fakta di tengah masyarakat, bahwa bahtera kehidupan pernikahan seseorang tidak selalu berjalan dengan mulus. Terkadang ditimpa oleh berbagai cobaan atau ujian. Pada umumnya, sepasang laki-laki dan perempuan yang telah menikah tentu saja sangat ingin segera diberikan keturunan oleh Allah Swt. Namun, terkadang ada suatu keadaan ketika sang istri tidak dapat melahirkan berikan keturunan, sementara sang suami sangat menginginkannya. Pada saat yang sama, suami begitu menyayangi istrinya dan tidak ingin menceraikannya. Adapula keadaan ketika seorang istri sakit keras sehingga menghalanginya untuk melaksanakan kewajibannya sebagai ibu dan istri, sedangkan sang suami sangat menyayanginya, sehingga ia tetap ingin merawat istrinya dan tidak ingin menceraikannya. Akan tetapi, di sisi lain ia membutuhkan seorang wanita yang dapat melayaninya, sehingga dibutuhkan wanita yang lain.
Ada juga kenyataan lain yang tidak dapat kita pungkiri, bahwa di dunia ini ada sebagian laki-laki yang tidak cukup hanya dengan satu istri (maksudnya, ia memiliki syahwat lebih besar dibandingkan dengan lelaki pada umumnya). Jika ia hanya menikahi satu wanita, hal itu justru dapat menyakiti atau menyebabkan kesulitan bagi sang istri. Fakta lain yang kita hadapi sekarang adalah jumlah laki-laki lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah perempuan, baik karena terjadinya banyak peperangan ataupun karena angka kelahiran perempuan memang lebih banyak daripada laki-laki.
Fakta  di atas merupakan bagian dari permasalahan umat manusia. Kita dapat membayangkan, seandainya poligami dilarang maka justru kerusakanlah yang akan terjadi di tengah-tengah masyarakat. Karena pelacuran, isteri simpanan (tidak dinikahi secara resmi), perselingkuhan, akan merebak tak terkendali. Maka dapat dipahami ketika MUI menyerukan agar pintu poligami tidak ditutup (detik.com). Dari sini dapat dipahami, bahwa poligami sebetulnya dapat dijadikan sebagai salah satu solusi atas sejumlah problem di atas
Hikmah poligami itulah yang menurut Taqiyuddin an Nabhani, akan menyelesaikan persoalan manusia. Namun, fakta-fakta tersebut sekadar mendukung pemahaman, bahwa poligami merupakan salah satu solusi bagi sebagian permasalahan yang dihadapi umat manusia. Bukan sebagai dalil ataupun alasan kebolehan poligami sebagaimana yang disyaratkan dalam PP 10 th 1983 ataupun revisinya PP no.45 th.1990. Sementara itu, dalil tentang kebolehan poligami ini tetap harus berdasarkan pada nash-nash syariat, yakni al-Quran dan Hadis Rasullulah saw. Sebab, fakta bukanlah dalil. Wallahu’alam.^_^ 07122006.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar