Selasa, 15 Januari 2013

Mengapa Terjadi Krisis Pangan?

Oleh :  Hera Anggarawaty

          Ancaman kelaparan tengah mengintai negara-negara dunia ketiga. Salah satu sebabnya adalah melonjaknya harga pangan hampir di seluruh belahan bumi, sementara daya beli sangat kurang. Harga pangan yang tinggi ini, pada sebagian wilayah telah berkembang menjadi penyebab kekerasan dan kemarahan rakyat. BBC (April 2008) melaporkan di Haiti kemarahan rakyat yang disebabkan kenaikan harga pangan, telah berkembang menjadi kekerasan. Kenaikan harga pangan tersebut telah menyulut kerusuhan selama satu minggu dan menyebabkan setidaknya 6 orang tewas. Pemerintah Haiti mengumumkan rencana darurat untuk menurunkan harga beras sebanyak 15 persen.
Tindakan untuk mempertahankan ketertiban umum seperti ini tidak hanya terjadi di Haiti.  Sebelumnya bulan April 2008 lalu, Presiden Pantai Gading, Laurent Gbagbo, mencabut cukai setelah protes-protes kekerasan menentang harga pangan yang melonjak.  Demonstrasi serupa terjadi di Cameroon, Burkina Faso dan Senegal. Bangladesh menghadapi kekurangan pangan terburuk selama lebih dari 30 tahun.  Filipina juga menderita. Para pejabat Filipina mengatakan orang yang menyimpan beras bisa dikenai dakwaan sabotase ekonomi. Pasukan dikirimkan untuk mengawal pengiriman beras ke daerah-daerah miskin di Filipina.
Badan Pangan dan Pertanian Dunia (Food and Agriculture Organization/FAO) mencatat 37 negara mengalami krisis pangan. Di negara-negara berkembang, pemerintah terpaksa meningkatkan subsidi untuk kebutuhan pokok, atau bahan bakar, atau mengurangi ekspor produksi pertanian. http://www.rakyatlampung.com/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&cid=6&artid=4922
            Direktur IMF, Dominique Strauss-Kahn, yang berada di Washington dalam pertemuan dengan para menteri keuangan mengatakan, banyak orang menghadapi kelaparan yang kemudian bisa memicu keresahan sosial. Harga pangan akan menjadi tema besar dalam pertemuan para menteri keuangan dan pembangunan markas besar Bank Dunia di Washington. Selama tahun lalu saja harga hasil panen yaitu beras, gandum dan jagung melonjak tinggi. Beras misalnya naik 70 persen. Malah BBC menyebutkan Gandum  naik  130%, Kedelai : 87%, Beras : 74% dan Jagung : 31% (Sumber : Bloomberg).

 Krisis Pangan di Indonesia
                Krisis pangan juga mengancam Indonesia. Negeri yang dikatakan subur makmur loh jinawi ini, seolah tinggal kenangan. Sebab, pada faktanya angka kemiskinan di Indonesia cukup tinggi, sementara harga bahan pokok, susu, kedelai, BBM dan lain-lain melonjak pesat. Oleh karena itu, ancaman krisis pangan juga melanda Indonesia. Salah satu buktinya telah terjadi malnutrisi balita pasca kenaikan harga susu, dan bahan pokok lainnya. Meninggalnya seorang ibu hamil dan janinnya serta malnutrisi yang diderita oleh anak-anaknya yang lain, adalah salah satu bukti yang sungguh tragis. Ibarat ayam yang mati di lumbung padi.
                Krisis pangan memang tengah menjadi berita utama berbagai media massa. Kelaparan melingkupi berbagai wilayah negeri, kemiskinan merajalela, harga bahan-bahan pokok yang melambung, kelangkaan bahan-bahan pokok, kekurangan gizi, dsb. Data WHO menunjukkan kesehatan masyarakat Indonesia terendah di Asean dan peringkat ke-142 dari 170 negara. Data WHO itu menyebutkan angka kejadian gizi buruk dan kurang, yang pada balita pada 2002 masing-masing meningkat menjadi 8, 3 % dan 27, 5 % serta pada 2005 naik lagi menjadi masing-masing 8, 8 % dan 28 %.(www.gemapembebasan).
                Krisis pangan bukanlah permasalahan tersendiri, tetapi terkait dengan permasalahan lain, misalnya kebiijakan-kebijakan yang ditetapkan pemerintah yang justru merugikan rakyat dan bahkan memperparah dampak dari krisis pangan ini. Beberapa kebijakan itu antara lain privatisasi, liberalisasi, deregulasi, dan subtitusi energi biofuel, sebagai inti dari Konsesus Washington.
                Henry Saragih (Ketua UmumSerikat Petani Indonesia), menyebutkan bahwa Bulog telah diprivatisasi, industri hilir pangan dikuasai perusahaan seperti Cargill dan Charoen Phokpand, menyerahkan urusan pangan ke pada pasar dan menyertakan pertanian ke pasar bebas, serta terbitnya berbagai deregulasi yang tidak berpihak kepada rakyat. Bulog diprivatisasi sehingga beralih fungsi sebagai penyangga pangan sekaligus mencari keuntungan. Padahal Semestinya Bulog mewakili pemerintah berperan sebagai penjamin ketersediaan pangan sekaligus menyokong kesejahteraan petani. Artinya Bulog dapat menyerap seluruh hasil panen raya petani dengan harga yang pantas, serta mendistribusikan kepada seluruh rakyat dengan harga yang murah. Jika ketersediaan pangan betul-betul kurang, barulah mengimpor sebatas kebutuhan.
Industri hilir pangan hingga distribusi (ekspor-impor) dikuasai oleh perusahaan seperti Cargill dan Charoen Phokpand. Privatisasi ini pun berdampak serius, sehingga berpotensi besar dikuasainya sektor pangan hanya oleh pemegang monopoli atau oligopoli (kartel) seperti yang sudah terjadi saat ini.
                Krisis pangan juga disebabkan oleh kebijakan dan praktek yang menyerahkan urusan pangan kepada pasar (1998, Letter of Intent IMF), serta mekanisme perdagangan pertanian yang ditentukan oleh perdagangan bebas (1995, Agreement on Agriculture, WTO). Negara ini pun melakukan upaya liberalisasi terhadap hal yang harusnya merupakan state obligation terhadap rakyat. Akses pasar Indonesia dibuka lebar-lebar, bahkan hingga 0 % seperti kedelai (1998, 2008) dan beras (1998). Sementara subsidi domestik untuk petani terus berkurang (tanah, irigasi, pupuk, bibit, teknologi dan insentif harga). Di sisi lain, subsidi ekspor dari negara-negara overproduksi pangan seperti AS dan Uni Eropa—beserta perusahaan-perusahaannya—malah meningkat. Indonesia pun dibanjiri barang pangan murah, sehingga pasar dan harga domestik  hancur (1995 hingga kini).
Dalam hal deregulasi, beberapa kebijakan sangat dipermudah untuk perusahaan besar yang mengalahkan pertanian rakyat. Seperti contoh UU No. 1/1967 tentang PMA, UU No. 4/2004 tentang Sumber Daya Air, Perpres 36 dan 65/2006, UU No. 18/2003 Tentang Perkebunan, dan yang termutakhir UU No. 25/2007 tentang Penanaman Modal. Dengan kemudahan regulasi ini, upaya privatisasi menuju monopoli atau kartel di sektor pangan semakin terbuka. Hal itu mengkondisikan rantai distribusi pangan akan sangat bergantung pada pemegang hak monopoli ataupun kartel. Rantai distribusi menjadi panjang karena pemegang monopoli dan kartel tidak melempar barang langsung ke konsumen, tetapi melalui rantai kartel yang mereka ciptakan. Pada giliranya harga barang menjadi semakin mahal karena ditambah dengan biaya transportasi. Hal ini semakin parah dengan tidak diupayakan secara serius pembangunan koperasi-koperasi dan UKM baik dalam produksi, distribusi maupun konsumsi di sektor pangan.
Dengan sistem kebijakan dan praktek ini, Indonesia kini tergantung kepada pasar internasional (harga dan tren komoditas). Maka saat terjadi perubahan pola-pola produksi-distribusi-konsumsi secara internasional, langsung terkena dampaknya. Kasus kedelai 2008 ini sebenarnya bukanlah yang pertama, karena ada kasus-kasus sebelumnya (beras pada tahun 1998, susu pada tahun 2007, dan minyak goreng pada tahun 2007). Hal ini akan sedikit banyak serupa pada beberapa komoditas pangan yang sangat vital bagi rakyat yang masih tergantung pada pasar internasional: beras, kedelai, jagung, gula, singkong dan minyak goreng.
Krisis pangan di awal tahun 2008 ini menunjukkan bahwasanya tesis tentang pasar bebas itu tidak berlaku untuk keselamatan umat manusia, terutama dalam hal pangan. Bahkan sejak aktifnya perdagangan bebas ini dipromosikan WTO, angka kelaparan di dunia semakin meningkat dari 800 juta jiwa (1996) menjadi 853 juta jiwa (2007). Oleh karena itu, Serikat Petani Indonesia (SPI), dan di tingkat internasional La Via Campesina sudah dengan tegas menyatakan agar WTO keluar dari pertanian (1996-sekarang).
Selain itu, Henry juga menjelaskan bahwa keterpurukan ini diperkuat oleh tidak adanya kebijakan pembaruan agraria, yaitu membagikan tanah kepada rakyat. Pemerintah malah sibuk mengkapling-kapling tanah untuk perusahaan-perusahaan perkebunan. Saat ini kebanyakan lahan-lahan perkebunan sudah dikelola oleh perusahaan-perusahaan besar, bukan keluarga petani. Padahal perusahaan perkebunan itu semuanya berorientasi ekspor. Sehingga pangan yang krusial bagi makanan rakyat tidak terpenuhi. Saat ini para petani membutuhkan lahan untuk meningkatkan produktivitasnya. Kepemilikan lahan petani yang hanya berkisar 0,3 hektar, jauh dari mencukupi untuk melakukan produksi yang efektif.
Selain itu, pemerintah telah mencabut subsidi pupuk, sehingga jangankan dapat dilakukan intensifikasi pertanian, yang terjadi justeru petani kehilangan gairah untuk meningkatkan produksi pertaniannya, disebabkan biaya produksi yang sangat mahal. Apalagi ekstensifikasi, jelas tidak disediakan oleh pemerintah, mengingat pemerintah lebih memfokuskan perluasan lahan dengan membuka hutan, untuk perkebunan yang berorientasi ekspor dan bukan menghasilkan produk pangan. Tetapi perkebunan yang mendukung produksi CPO dan biofuel. Malah lahan pertanian yang sebelumnya  memproduksi bahan pangan, justeru dialih fungsikan untuk menanam tanaman industri.


Faktor Penyebab
Banyak faktor yang telah disebut oleh berbagai pihak sebagai penyebab krisi pangan dewasa ini. Diantaranya adalah 1) 0verpopulasi. Para pendukung overpopulasi mengklaim bahwa pertumbuhan populasi dunia yang besar inilah yang menyebabkan kemiskinan, kehancuran lingkungan dan ketimpangan sosial. Orang pertama yang menyokong pandangan semacam itu adalah Thomas Malthus pada tahun 1798, dalam tulisannya yang terkenal berjudul Essay on the Principle of Population, menyatakan bahwa kelangkaan barang akan menyebabkan masalah karena penduduk bertambah sesuai dengan deret ukur, sedangkan sumber-sumber daya seperti makanan bertambah sesuai dengan deret hitung. Akibatnya, populasi akan bertambah sehingga menghabiskan sumber daya dunia dan akhirnya menyebabkan kelaparan, hingga terjadi peperangan dan penyakit untuk menyeimbangkan sumber daya dan populasi. Pendek kata penduduk bertambah, maka permintaan barang bertambah sementara ketersediaan barang kurang.
Dalam analisis Bank Dunia yang diterbitkan sebelum pertemuan di Washington, peningkatan harga terjadi karena beberapa negara pengekspor komoditas seperti Thailand sempat mengurangi ekspor beras hingga 52 %, untuk kebutuhan lokal mereka. Faktor lain yang menyebabkan harga komoditas mahal adalah peningkatan permintaan produk pangan oleh India dan Tiongkok. Berpindahnya kelas sosial ratusan juta orang ke kelas menengah di negeri itu menaikkan permintaan daging. Konsumsi masyarakat Tiongkok terhadap daging meningkat dari 20 kilogram per tahun per orang pada 1985 menjadi lebih dari 50 kg pada 2008. ’’Akibatnya, produk makanan ternak dan produk makanan lain semakin mahal,” sebut laporan Bank Dunia.
Penyebab lain naiknya harga produk pangan adalah perubahan iklim yang melanda banyak negara di dunia sehingga mengganggu produksi. Misalnya, lahan subur di Ukraina setiap tahun berkurang akibat musim kemarau, penebangan hutan, dan perubahan iklim. Australia juga mengalami kekeringan yang berkepanjangan pada tahun lalu yang menyebabkan penurunan produksi komoditas pangan hingga 60 %. Produksi komoditas pangan Tiongkok juga turun hingga 10 % selama tujuh tahun terakhir.
Penggunaan bahan pangan untuk keperluan lain juga berakibat pada kenaikan harga. Selama ini tingginya harga minyak dunia diatasi dengan menyubstitusi energi dengan pemanfaatan bahan bakar nabati (biofuel), seperti jagung dan gula. Pada 2006, AS menggunakan 14 % total produk pertanian untuk dijadikan bahan bakar etanol. Pada 2010, angka itu akan mencapai 30 persen. ’’Rupanya, dunia harus mempertimbangkan kembali penggunaan biofuel menyusul tingginya harga bahan pangan,’’ ujar Menteri Pembangunan Jerman Heidemarie Wieczorek-Zeul.
Kombinasi dari penyebab-penyebab itu dalam data Bank Dunia memicu kenaikan harga tepung sampai 181% dalam 36 bulan terakhir. Secara keseluruhan, harga pangan pada periode yang sama telah naik hingga 83%. ’’Harga pangan akan tetap tinggi hingga akhir 2008. Baru pada 2009 mulai terjadi penurunan. Namun, nilainya tidak akan pernah lebih rendah daripada posisi pada 2004,” demikian analisis Bank Dunia. http://www.rakyatlampung.com/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&cid=6&artid=4922
Privatisasi di berbagai sektor (baik itu sektor pertanian ataupun sektor kepemilikan umum lainnya), liberalisasi diberbagai sektor (utamanya dengan memasukan sektor pertanian ke arena WTO), deregulasi yang cenderung berpihak kepada para pemilik modal, seperti yang sudah diungkapkan di atas, hanyalah cabang dari permasalahan sesungguhnya.  Maka jika menilik faktor-faktor yang diklaim sebagai penyebab krisis pangan, yang telah dipaparkan di atas, sebenarnya dapat dilihat faktor penyebab utamanya, yaitu diterapkannya  kapitalisme. Karena kebijakan-kebijakan tersebut lahir atas dasar Kapitalisme.
                Kapitalisme telah diterapkan hampir di seluruh belahan bumi, atas paksaan AS sebagai gembongnya dengan memperalat semua cabang unit PBB. Maka mau tidak mau negara-negara lainnya terutama negara-negara dunia ketiga, cenderung tidak berdaya untuk tidak mengikuti arahan AS.  Oleh karena itu, negara cenderung kurang memperhatikan kesejahteraan rakyatnya termasuk ketersediaan pangan. Karena kebijakan Kapitalisme cenderung berpihak pada minoritas masyarakat yaitu kaum pemilik modal baik pemilik modal pribumi maupun asing, daripada berpihak kepada kaum mayoritas rakyat. Maka kolusi antara penguasa dan pengusaha menjadi rahasia umum. Kebijakan penguasa cenderung mengarah pada pesanan para pengusaha yang telah membiayai naiknya para penguasa ke tampuk kekuasaan, maupun mengarah pada tekanan asing.
               
Dampak Krisis Pangan Dunia
Indonesia ibarat salah satu gigi dari roda dunia yang berputar, tentulah akan turut berputar seirama roda dunia. Maka Indonesia yang telah menyertakan sektor pertanian ke arena WTO, kebijakan yang cenderung sehaluan dengan arahan kaum kapitalis pribumi dan asing, deregulasi yang beraroma kapitalistik,tentunya tidak akan lepas dari dampak krisis pangan dunia.
                Selain akan dilanda kelaparan, bukan tidak mustahil akan berakibat juga pada instabilitas politik dalam negeri, sebagaimana yang telah terjadi di negara-negara lain. Gelombang demonstrasi yang menuntut turunnya harga bahan-bahan pokok telah terjadi sejak melonjaknya harga pokok tahun 2007.
Lebih parah lagi akan terjadi lost generation, yang akan meniadakan masa depan kepemimpinan yang mumpuni dan mandiri. Akibatnya, tidak mustahil Indonesia akan selalu dipimpin oleh aktor-aktor komprador yang senantiasa tunduk kepada asing, dan menjerumuskan Indonesia dalam jeratan lingkaran setan kesengsaraan umat, disebabkan sistem kapitalisme yang diterapkan para komprador. @ (dari berbagai sumber).^_^Mei2008
 Sumber :
http://www.rakyatlampung.com/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&cid=6&artid=4922
 dll

Tidak ada komentar:

Posting Komentar