Walapun gagasan 'full day school'
yang digagas Menteri Pedidikan dan Kebudayaan Prof. Dr. Muhadjir
Effendy telah dibatalkan, namun masih sangat menarik untuk
diperbincangkan, mengingat pentingnya perbaikan kualitas generasi
sebagai calon pemimpin di masa mendatang.
Seperti banyak diberitakan media,
Mentri Pendidikan dan Kebudayaan telah menggagas sistem 'full day
school ' untuk pendidikan dasar (SD dan SMP) baik negeri ataupun
swasta. Alasannya agar anak tidak sendiri ketika orang tua mereka
masih bekerja.Gagasan ini disampaikan Mendikbud di Universitas
Muhammadyah Malang (UMM) pada 7 Agustus 2016 lalu (Kompas.com,
8/8/2016).Namun dua hari kemudian gagasan ini dibatalkan
(Tempo.co.id, 9/8/2016).
Muhadjir merasa para siswa akan lebih
aman jika berada di sekolah sampai orang tua menjemputnya.
Diharapkan dengan lebih banyak waktu di sekolah, maka arus kerusakan
di luar sekolah dapat dibendung. Termasuk juga sebagai upaya dalam
membendung pemikiran menyimpang di luar sekolah.
Selintas nampaknya ide ini seperti
mampu menjadi solusi arus kerusakan yang melanda generasi sebagaimana
yang diharapkan. Namun minimal ada dua hal penting yang perlu
diperhatikan dalam persoalan ini. Pertama, tidak diperhatikan
kondisi kurikulum yang selama ini diajarkan. Kurikulum pendidikan
yang selama ini diajarkan di sekolah--kurikulum tahun berapapun
itu-merupakan kurikulum yang berbasis pemikiran yang sekular. Hal
ini tak kalah berbahaya, dan cenderung menjadi penyebab kerusakan
kualitas generasi yang saat ini tengah disiapkan. Karena dengan
kurikulum yang sekular dan cenderung liberalis ini, telah membentuk
generasi yang mengesampingkan agama, bergaul permisif dan hedonis.
Jauh dari harapan pendidikan berkarakter. Atau memang karakter
hedonis dan permisif itukah yang diharapkan? Jika akal sehat yang
berbicara, tentu bukan itu yang diharapkan.
Kurikulum yang mengarah pada
kebijakan pasar telah merenggut, pembentukan karakter pemimpin yang
tangguh dan bertakwa. Sebab, mata pelajaran agama, budi pekerti dan
karakter telah tereduksi, demi memenuhi mata pelajaran yang
berorientasi pasar.
Oleh karena itu justeru yang penting
adalah merombak kurikulum yang ada, dengan kurikulum yang menjadikan
anak didik memiliki aqidah yang kuat sebagai pondasi dalam
mengarungi kehidupan di tengah masyarakat, sekaligus menguasai sains.
Maka solusinya adalah dengan menerapkan kurikulum pendidikan Islam
yang merupakan upaya sadar, terstruktur, terprogram dan sistematis
untuk membentuk manusia yang berkarakter kepribadian Islam, menguasai
tsaqofah Islam, menguasai Ilmu serta teknologi.
Kurikulum pendidikan Islam bertujuan
mewujudkan peserta didik berkepribadian Islam, yakni berpola pikir
dan berpola sikap sesuai syariat Islam. Peserta didik menjadikan
Islam sebagai sistem kehidupan satu-satunya yang tepat bagi manusia.
Sebagaimana yang pernah terjadi pada masa khilafah, secara konsep
maupun berdasarkan realitas penerapan kurikulum pendidikan Islam
justru banyak melahirkan generasi yang ulama sekaligus intelektual.
Pada satu sisi mampu melahirkan peserta didik berkepribadian mulia,
pada sisi lain di saat yang bersamaan mempersiapkan potensi
intelektual dan kejiwaan peserta didik menjadi para pakar di berbagai
bidang keilmuan dan keahlian.
Pada masa Kekhilafahan Abbasiyah,
yaitu Khalifah al Makmun, lahir pakar-pakar yang hebat, misalnya
Khawarizmi/Algorizm (W.780), pakar matematika, geografi, dan
astronomi. Dia yang memperbaiki tabel ptolomeus dan menemukan ilmu
hitung: Al jabar dan menemukan konsep angka nol (shifr) yang
menunjukkan kosong. Dia orang pertama yang menciptakan geografi bumi.
Al Khawarizmi juga mengembangkan aritmatika yang menjadi landasan
algoritma yang tanpa itu dunia komputer dan informatika tidak akan
bisa berjalan.(Atlas Budaya Islam karangan Ismail R.
AlFaruqi dan Lois Lamya)
Selain melahirkan
generasi yang intelektual sekaligus ulama, pendidikan Islam masa
Khilafah pun mencetak generasi pemimpin. Kita kenal Muhammad Alfatih,
sejarah mencatat bahwa ketika berumur 23 tahun, al-Fatih telah
menguasai 7 bahasa dan dia telah memimpin ibukota Khilafah Islam di
Adrianopel (Edirne) sejak berumur 21 tahun. Usia yang relatif muda
untuk ukuran seorang pemimpin yang menaklukkan kota –Konstantinopel-
yang memiliki posisi penting di mata dunia.
Sementara, dalam sistem Kapitalis-Demokrasi usia rata-rata yang
memegang tampuk kepemimpinan kisaran usia 50 tahun. Itupun pemimpin
yang berada dalam bingkai sekuler yang menegasikan Allah Swt sebagai
pembuat aturan dalam kehidupan.
Dengan demikian, satu-satunya
kurikulum yang mampu mengatasi kemerosotan moral bangsa saat ini
sekaligus melahirkan generasi pemimpin dan para pakar di berbagai
bidang keilmuan yang dibutuhkan ummat hanyalah kurikulum pendidikan
Islam masa Khilafah.
Kedua, pendidikan di dalam
keluarga mutlak harus dilakukan oleh orang tua. Peran orang tua tidak
bisa digantikan oleh peran sekolah dengan memperpanjang jam belajar
di sekolah. Apaagi pada usia 12 tahun pertama dalam kehidupan seorang
anak, pendidikan dan pengasuhannya mutlak harus dalam pendampingan
orangtua. Maka, sangat tidak solutif, jika perpanjangan jam belajar
di sekolah diberlakukan. Bisa jadi ada keluarga tertentu di
masyarakat yang menyekolahkan anaknya pada Sekolah Dasar Full Day,
karena pertimbangan tertentu, namun jika hal ini diberlakukan sebagai
kebijakan umum, tentulah tidak bijaksana, karena setiap keluarga
kondisinya berbeda.
Karena pendidikan di dalam keluarga
mutlak harus dilakukan oleh orang tua, utamanya peran ibu, maka
kebijakan penting yang justeru harus diambil adalah menghentikan
kebijakan “pemberdayaan perempuan” ala Kapitalisme, yang telah
mendorong para ibu untuk bekerja di luar rumah, dengan waktu yang
panjang, yang pada gilirannya telah mengabaikan peran pentingnya
dalam pendidikan anak.
Dengan perpanjangan waktu belajar di
sekolah, dengan alasan agar seiring dengan jam bekerja orangtua,
merupakan alasan yang justeru tidak bijak. Semestinya kalaupun karena
keterpaksaan kondisi seorang ibu akhirnya bekerja, maka jam kerjanya
disesuaikan dengan usia anak yang sedang diasuh dan besarkannya.
Diberi waktu cuti yang panjang, minimal dua tahun, seiring masa
menyusui.Dan diberi beban waktu kerja yang pendek, demi menjaga
tanggungjawab pengasuhan dan pendidikan anak.
Lebih utama adalah dengan
mengembalikan para ibu dengan peran hakikinya dalam membentuk
generasi berkualitas tanpa diganggu dengan dorongan bekerja mencari
nafkah di luar rumah. Pada saat yang sama justeru harus dibuka lebar
kesempatan kerja bagi para ayah agar pembagian peran ayah dan ibu
dalam keluarga berada pada posisi yang semestinya, yang telah Allah
SWT tetapkan, sehingga pendidikan anak berada di tangan yang
seharusnya. Wallahu'alam.
Cijerah, 20 Agustus 2016
Hera Anggarawaty