Rabu, 31 Agustus 2016

Menyoal Perbaikan Kualitas Generasi

Walapun gagasan 'full day school' yang digagas Menteri Pedidikan dan Kebudayaan Prof. Dr. Muhadjir Effendy telah dibatalkan, namun masih sangat menarik untuk diperbincangkan, mengingat pentingnya perbaikan kualitas generasi sebagai calon pemimpin di masa mendatang.

Seperti banyak diberitakan media, Mentri Pendidikan dan Kebudayaan telah menggagas sistem 'full day school ' untuk pendidikan dasar (SD dan SMP) baik negeri ataupun swasta. Alasannya agar anak tidak sendiri ketika orang tua mereka masih bekerja.Gagasan ini disampaikan Mendikbud di Universitas Muhammadyah Malang (UMM) pada 7 Agustus 2016 lalu (Kompas.com, 8/8/2016).Namun dua hari kemudian gagasan ini dibatalkan (Tempo.co.id, 9/8/2016).

Muhadjir merasa para siswa akan lebih aman jika berada di sekolah sampai orang tua menjemputnya. Diharapkan dengan lebih banyak waktu di sekolah, maka arus kerusakan di luar sekolah dapat dibendung. Termasuk juga sebagai upaya dalam membendung pemikiran menyimpang di luar sekolah.

Selintas nampaknya ide ini seperti mampu menjadi solusi arus kerusakan yang melanda generasi sebagaimana yang diharapkan. Namun minimal ada dua hal penting yang perlu diperhatikan dalam persoalan ini. Pertama, tidak diperhatikan kondisi kurikulum yang selama ini diajarkan. Kurikulum pendidikan yang selama ini diajarkan di sekolah--kurikulum tahun berapapun itu-merupakan kurikulum yang berbasis pemikiran yang sekular. Hal ini tak kalah berbahaya, dan cenderung menjadi penyebab kerusakan kualitas generasi yang saat ini tengah disiapkan. Karena dengan kurikulum yang sekular dan cenderung liberalis ini, telah membentuk generasi yang mengesampingkan agama, bergaul permisif dan hedonis. Jauh dari harapan pendidikan berkarakter. Atau memang karakter hedonis dan permisif itukah yang diharapkan? Jika akal sehat yang berbicara, tentu bukan itu yang diharapkan.

Kurikulum yang mengarah pada kebijakan pasar telah merenggut, pembentukan karakter pemimpin yang tangguh dan bertakwa. Sebab, mata pelajaran agama, budi pekerti dan karakter telah tereduksi, demi memenuhi mata pelajaran yang berorientasi pasar.

Oleh karena itu justeru yang penting adalah merombak kurikulum yang ada, dengan kurikulum yang menjadikan anak didik memiliki aqidah yang kuat sebagai pondasi dalam mengarungi kehidupan di tengah masyarakat, sekaligus menguasai sains. Maka solusinya adalah dengan menerapkan kurikulum pendidikan Islam yang merupakan upaya sadar, terstruktur, terprogram dan sistematis untuk membentuk manusia yang berkarakter kepribadian Islam, menguasai tsaqofah Islam, menguasai Ilmu serta teknologi.

Kurikulum pendidikan Islam bertujuan mewujudkan peserta didik berkepribadian Islam, yakni berpola pikir dan berpola sikap sesuai syariat Islam. Peserta didik menjadikan Islam sebagai sistem kehidupan satu-satunya yang tepat bagi manusia. Sebagaimana yang pernah terjadi pada masa khilafah, secara konsep maupun berdasarkan realitas penerapan kurikulum pendidikan Islam justru banyak melahirkan generasi yang ulama sekaligus intelektual. Pada satu sisi mampu melahirkan peserta didik berkepribadian mulia, pada sisi lain di saat yang bersamaan mempersiapkan potensi intelektual dan kejiwaan peserta didik menjadi para pakar di berbagai bidang keilmuan dan keahlian.

Pada masa Kekhilafahan Abbasiyah, yaitu Khalifah al Makmun, lahir pakar-pakar yang hebat, misalnya Khawarizmi/Algorizm (W.780),  pakar matematika, geografi, dan astronomi. Dia yang memperbaiki tabel ptolomeus dan menemukan ilmu hitung: Al jabar dan menemukan konsep angka nol (shifr) yang menunjukkan kosong. Dia orang pertama yang menciptakan geografi bumi. Al Khawarizmi juga mengembangkan aritmatika yang menjadi landasan algoritma yang tanpa itu dunia komputer dan informatika tidak akan bisa berjalan.(Atlas Budaya Islam  karangan Ismail R. AlFaruqi dan Lois Lamya)

Selain melahirkan generasi yang intelektual sekaligus ulama, pendidikan Islam masa Khilafah pun mencetak generasi pemimpin. Kita kenal Muhammad Alfatih, sejarah mencatat bahwa ketika berumur 23 tahun, al-Fatih telah menguasai 7 bahasa dan dia telah memimpin ibukota Khilafah Islam di Adrianopel (Edirne) sejak berumur 21 tahun. Usia yang relatif muda untuk ukuran seorang pemimpin yang menaklukkan kota –Konstantinopel- yang memiliki posisi penting di mata dunia. Sementara, dalam sistem Kapitalis-Demokrasi usia rata-rata yang memegang tampuk kepemimpinan kisaran usia 50 tahun. Itupun pemimpin yang berada dalam bingkai sekuler yang menegasikan Allah Swt sebagai pembuat aturan dalam kehidupan.

Dengan demikian, satu-satunya kurikulum yang mampu mengatasi kemerosotan moral bangsa saat ini sekaligus melahirkan generasi pemimpin dan para pakar di berbagai bidang keilmuan yang dibutuhkan ummat hanyalah kurikulum pendidikan Islam masa Khilafah.

Kedua, pendidikan di dalam keluarga mutlak harus dilakukan oleh orang tua. Peran orang tua tidak bisa digantikan oleh peran sekolah dengan memperpanjang jam belajar di sekolah. Apaagi pada usia 12 tahun pertama dalam kehidupan seorang anak, pendidikan dan pengasuhannya mutlak harus dalam pendampingan orangtua. Maka, sangat tidak solutif, jika perpanjangan jam belajar di sekolah diberlakukan. Bisa jadi ada keluarga tertentu di masyarakat yang menyekolahkan anaknya pada Sekolah Dasar Full Day, karena pertimbangan tertentu, namun jika hal ini diberlakukan sebagai kebijakan umum, tentulah tidak bijaksana, karena setiap keluarga kondisinya berbeda.

Karena pendidikan di dalam keluarga mutlak harus dilakukan oleh orang tua, utamanya peran ibu, maka kebijakan penting yang justeru harus diambil adalah menghentikan kebijakan “pemberdayaan perempuan” ala Kapitalisme, yang telah mendorong para ibu untuk bekerja di luar rumah, dengan waktu yang panjang, yang pada gilirannya telah mengabaikan peran pentingnya dalam pendidikan anak.

Dengan perpanjangan waktu belajar di sekolah, dengan alasan agar seiring dengan jam bekerja orangtua, merupakan alasan yang justeru tidak bijak. Semestinya kalaupun karena keterpaksaan kondisi seorang ibu akhirnya bekerja, maka jam kerjanya disesuaikan dengan usia anak yang sedang diasuh dan besarkannya. Diberi waktu cuti yang panjang, minimal dua tahun, seiring masa menyusui.Dan diberi beban waktu kerja yang pendek, demi menjaga tanggungjawab pengasuhan dan pendidikan anak.
Lebih utama adalah dengan mengembalikan para ibu dengan peran hakikinya dalam membentuk generasi berkualitas tanpa diganggu dengan dorongan bekerja mencari nafkah di luar rumah. Pada saat yang sama justeru harus dibuka lebar kesempatan kerja bagi para ayah agar pembagian peran ayah dan ibu dalam keluarga berada pada posisi yang semestinya, yang telah Allah SWT tetapkan, sehingga pendidikan anak berada di tangan yang seharusnya. Wallahu'alam.

Cijerah, 20 Agustus 2016
Hera Anggarawaty



HUJAN PAGI

bulir bening
tercurah
menghambur tak hingga karunia
pintu langit terbuka lebar
laksa doa melesat
mengangkasa
pembaringan berlagu
mendendang bujuk rayu
bantal, selimut menggelar orkestra
tepis saja
sambut asa
cipta karya
maksimal ikhtiyar
bertumpu idrak sillah billah
jangan berbatas pada lingkaranmu
meluaslah
pada lingkaran umat di lima benua
sabda Rasul SAW
siapa yang terbangun pagi hari,tidak memikirkan umatku, maka dia bukan umatku
pojok Cijerah,13082016
Hera Anggarawaty

NOTE : Intina pami enjing2 hujan,sok hoream nanaon,hoyongna ngagojod padahal pami hujan teh seueur rizki tur waktos dikabul doa.#rebonyunda

Jumat, 19 Agustus 2016

SEJATINYA



FIS di Aljazair dikudeta
Mesir dikudeta
sekarang Turki dikudeta
masih belum cukupkah?

sementara Rasul tercinta
telah memberi contoh nyata
sejatinya teladan

perjuangannya dibimbing wahyu ilahi
sejatinya tuntunan

akankah tetap berpaling?

Pojok Melong Raya,16 Juli 2016
Hera Anggarawaty

LAPANG HATI

untaian mutiara
di tengah limpahan mentari dhuha
cemerlang
mencerahkan pandangan
menjernihkan pikiran
hangat
merengkuh palung kalbu
menyulut semangat baru
luas
menampung segala keadaan
menyediakan segala kemungkinan
menerima segala ketentuan
menyiapkan totalitas amunisi
Sabar
Syukur
Ridha
Tawakal
Di bawah SUTET Melong Raya,31 Juli 2016
Hera Anggarawaty