Rabu, 09 Januari 2013

MEWUJUDKAN IDEALITAS ULAMA*

            Abu Darda menuturkan bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda : ”Keutamaan ulama atas ahli ibadah bagaikan keutamaan bulan terhadap seluruh bintang-bintang. Sesungguhnya ulama adalah pewaris para nabi. Sesungguhnya para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham, melainkan mewariskan ilmu. Karena itu, siapa saja yang mengambilnya, ia telah mengambil bagian ( tanggung jawab) yang besar.(HR at-Tirmidzi dan Abu Dawud).
            Dalam hadist yang dituturkan oleh Abu Darda tersebut terkandung makna bahwa idealnya, seorang ulama adalah orang yang memiliki ilmu, yakni ilmu yang diwariskan oleh para nabi.         Sebagai pewaris nabi, ulama memiliki tugas yang berat namun amat mulia, yaitu tugas mengemban risalah para nabi. Rasul saw. mengumpamakan ulama bagaikan bintang yang menerangi kegelapan di laut dan di daratan (HR Ahmad).
                Dengan keilmuan mereka, pemikiran sesat bisa tersingkirkan, keragu-raguan di dalam jiwa bisa tertepiskan, kebengkokan bisa diluruskan, kerusakan bisa diperbaiki dan kezaliman bisa terhalangi. Ulama harus mengajarkan al-Quran dan as-Sunah, mengajarkan kebenaran, menjelaskan kezaliman orang yang zalim, menunjukkan kerusakan orang yang berbuat kerusakan, dan menerangkan kemaksiatan orang yang berbuat maksiat.
                Seorang ulama sekaligus juga seorang politisi. Ia senantiasa memperhatikan dan mengurusi urusan-urusan umat. Ulama mengurusi urusan umat bukan dengan kekuasaan, tetapi dengan keilmuannya. Ulama haruslah menjadi orang yang mengamalkan ilmunya, senantiasa menyuarakan kebenaran, cinta akan kebaikan, memerintahkan kemakrufan dan mencegah kemungkaran. Ulama harus mengajarkan dan menjelaskan kebenaran dan keadilan kepada penguasa, sekaligus menyeru penguasa untuk menerapkan Islam secara benar, konsisten dan adil serta menghiasi diri dengan akhlak Rasul saw. Ulama harus tabah menerima segala cobaan dan kesulitan dalam menjalankan semua itu.
                Namun pada faktanya, jauh panggang dari api. Pada saat ini ulama cenderung tidak berdaya, hal ini disebabkan (1) langkanya ulama yang kritis terhadap persoalan sosial, politik, ekonomi, hukum dan pemerintahan. Para ulama cenderung tidak berdaya menghadapi kemaksiatan, dan kerusakan yang terjadi di tengah masyarakat. Ulama cenderung berdiam diri. Kalaupun ada yang bersuara, alih-alih mencegah malah justeru ikut memperkeruh suasana yang justeru menyesatkan umat. Hal ini dapat dilihat contohnya dalam kasus goyang ngebor Inul.  Pada faktanya ada ulama yang justeru mendukung Inul sampai-sampai ulama tersebut membuat lukisan ”Berdzikir Bersama Inul”. Padahal sudah sangat jelas bahwa pornoaksi diharamkan dalam Islam.
                (2) Perpecahan di kalangan ulama. Selama terjadi perbedaan pendapat yang digali dari dalil syara, hal ini dibolehkan dalam Islam. Namun seringkali hal ini menjadi bibit perpecahan di kalangan ulama. Misalnya mengenai pendapat  apakah harus qunut atau tidak.   
                (3) Mendukung sistem yang ada. Ulama mestinya merupakan pihak yang meluruskan penguasa ketika penguasa berjalan menyimpang dari hukum syara, ataupun menggadaikan harga diri umat di hadapan penjajah asing. Namun terdapat ulama yang justeru mendukung kemaksiatan yang dilakukan pemerintah. Seperti yang dapat kita lihat pada saat Presiden Amerika George W.Bush datang ke Indonesia. Banyak ulama yang menolak kehadiran George W. Bush, dan menolak sikap pemerintah dalam memperlakukan Bush. Akan tetapi tidak sedikit pula ulama yang berada di balik ketiak para penguasa itu.
                (4) Ulama juga cenderung disibukkan persoalan-persoalan parsial. Sehingga kalaupun berupaya untuk memberikan solusi di tengah umat, solusinya tidak menyentuh ke akar persoalan. Akan tetapi cenderung parsial, sehingga penyelesaian masalah menjadi tidak tuntas.
                Imam ad-Darimi, menukil dari Sufyan ats-Tsauri, menyatakan bahwa ulama itu ada tiga macam: Pertama, orang yang alim (mengetahui) tentang Allah dan ia takut kepada Allah, tetapi ia tidak mengetahui perintah (ketentuan) Allah. Kedua, orang yang mengetahui Allah, juga mengetahui perintah (ketentuan) Allah, dan ia takut kepada Allah. Ia adalah seorang âlim yang sempurna. Ketiga, orang yang mengetahui perintah (ketentuan) Allah, tetapi tidak mengetahui Allah dan ia tidak takut kepada Allah, dialah seorang âlim yang fajir.
                Golongan ketiga itulah yang dikatakan sebagai ulamâ as-sû’ (ulama yang jahat). Al-Minawi menukil dalam Faydh al-Qadîr, bahwa,” Bencana bagi umatku berupa ulama sû’ yang dengan ilmunya mereka bertujuan mencari kenikmatan dunia, meraih gengsi dan kedudukan. Satu orang dari mereka adalah tawanan setan. Ia telah dibinasakan oleh hawa nafsunya dan dikuasai oleh kesengsaraannya. Bahayanya bagi umat datang dari beberapa sisi: dari ucapan-ucapan dan perbuatan-perbuatannya yang diikuti; ia memperindah penguasa yang menzalimi manusia; mudah mengeluarkan fatwa bagi mereka; pena dan lisannya dipenuhi kebohongan, kedustaan dan kesombongan; dan ia mengatakan sesuatu yang ia tidak memiliki pengetahuan atasnya. ”

Faktor-faktor yang Melemahkan Ulama

                Jika ditelusuri, fakta lemahnya ulama saat ini disebabkan 3 hal, yaitu : pertama. Secara pemikiran, ulama cenderung terjebak dalam ideologi yang berkembang saat ini, yaitu sekularisasi. Sehingga yang terjadi adalah deideologisasi yakni sekularisasi pemikiran Islam. Menjadikan Islam terpisah dari kehidupan. Akibatnya ulama terjebak dalam dakwah islahiyah dan khoiriyah yang cenderung parsial. Padahal seharusnya, ulama berdakwah dengan fokus kepada perubahan sistem. Karena sudah terlihat dengan kasat mata kerusakan yang ditimbulkan ketika hidup di tengah sistem yang tidak Islami.
Kedua, Secara sistem, ulama telah terjebak pada sistem yang tengah berlaku saat ini. Oleh karena itu terjadilah depolitisasi ulama. Peran politik ulama sirna, sehingga terjadi marginalisasi ulama. Ulama hanya berhak berbicara tentang agama, ibadah, dan akhlaq saja. Tidak boleh berbicara tentang  kekuasaan, pemerintahan, mengoreksi penguasa dan aktivitas politik lainnya. Jika berbicara mengenai persoalan lain di luar persoalan agama, ibadah, ataupun akhlaq, ulama cenderung bersikap pragmatis. Mendukung penyelesaian yang ada dengan aturan yang ada, karena jika aturan agama (Islam) digunakan sebagai penyelesaian maka dianggap telah mencampuradukkan agama dengan kehidupan di luar agama. Hal ini bisa kita lihat dalam kasus Inul.
Sistem sekuler yang cenderung hedonis juga telah menjebak ulama terjerumus dalam godaan 3 ta (harta, tahta, dan wanita). Tampuk kekuasaan dan pemerintahan diinginkan dan berupaya untuk diduduki, akan tetapi setelah duduk lupa berdiri. Setelah duduk di pemerintahan lupa akan aturan yang harus diterapkan. Menghabiskan uang rakyat dengan berkeliling ke berbagai negara tanpa menghasilkan kemaslahatan bagi umat. Manakala rakyat menghendakinya turun karena ketidakmampuannya dalam memimpin dan mengelola negara, dia enggan untuk turun. Begitu juga ”ulama  penguasa” lain yang mendukungnya.
Berkaitan dengan hal ini Imam Al Ghazali (Ihya 'Ulumuddin, juz 7, hal. 92) menyatakan : “Dulu tradisi para ulama mengoreksi dan menjaga penguasa untuk menerapkan hukum Allah SWT. Mereka mengikhlaskan niat dan pernyataannya membekas di hati. Namun sekarang, terdapat penguasa yang tamak namun ulama hanya diam. Andaikan mereka berbicara, pernyataannya berbeda dengan perbuatannya sehingga tidak mencapai keberhasilan. Kerusakan masyarakat itu akibat kerusakan penguasa, dan kerusakan penguasa akibat kerusakan ulama. Adapun kerusakan ulama akibat digenggam cinta harta dan jabatan. Siapa saja yang digenggam oleh cinta dunia niscaya tidak mampu menguasai 'kerikilnya', bagaimana lagi dapat mengingatkan penguasa dan para pembesar.” Bila kondisi sebagian ulama pada jaman Imam Al Ghazali demikian, tidaklah mengherankan bila dewasa ini kondisinya lebih parah, terlebih-lebih sejak hancurnya Khilafah Islamiyyah tahun 1342 H (1924 M). Imam al-Ghazali mengatakan dalam Al-Ihyâ’ bahwa rusaknya ulama karena cinta harta dan dunia.
Ketiga, politik penguasa. Idealnya ulama dan umat merupakan satu kesatuan dalam aktivitas muhasabah lil hukam, hanya saja ulama dan umat seringkali terpecah belah. Bahkan keterpecah belahan ini terjadi juga di kalangan ulama. Hal ini terjadi tidak lepas dari upaya penguasa untuk menghilangkan peran politik ulama, agar tidak ”mengganggu” jalannya pemerintahan. Pemerintahan yang sekuler memang selalu berupaya melakukan depolitisasi ulama.
 Selain itu stigma negatif yang sering ditempelkan kepada ulama, telah menciptakan jarak antara ulama dengan umat. Sebab, tidak sedikit umat yang termakan oleh stigma negatif yang ditempelkan penguasa kepada ulama. Dengan penyebutan ulama garis keras telah cukup membuat umat terpengaruh. Apalagi jika ulama yang telah diberi stigma negatif tersebut ditangkap atau dipenjara, dengan tuduhan yang seringkali tanpa bukti.
Lemahnya ulama dalam berperan di tengah masyarakat tentu saja memunculkan dampak yang tidak ringan seperti semakin rusaknya masyarakat, karena ulama tidak menunjukkan kepada orang yang bermaksiat tentang kemaksiatannya, dan tidak berupaya untuk mencegahnya. Masyarakat juga akan kehilangan panutan. Sebab, ulama yang semestinya menjadi petunjuk, yang telah diibaratkan seperti bulan yang lebih utama dari bintang-bintang, tidak menunjukkan kecemerlangannya. Apakah dikatakan cerdas ataukah cemerlang, jika ulama berdiam diri terhadap permasalahan umat yang perlu dicari solusinya? Atau tidak memberikan penjelasan syar’i yang tuntas ketika muncul keragu-raguan di tengah umat. Jika hal itu terjadi maka hilangnya kepercayaan umat kepada ulama, menjadi suatu hal yang niscaya terjadi. Dengan diamnya ulama, penguasa semakin merasa benar akan tindakannya.
Apalagi jika ulama tersebut malah bermesraan dengan penguasa yang zalim daripada mengoreksinya. Maka perlu direnungkan secara mendalam apa yang dikatakan Imam Auza'i, “Termasuk yang dibenci oleh Allah adalah ulama yang suka berkunjung kepada penguasa”. Bahkan, Imam Baihaqi meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda : “Siapa yang berdoa untuk orang zhalim agar tetap berkuasa, maka dia telah menyukai orang itu bermaksiat kepada Allah di bumi-Nya.”

Penguatan Peran dan Fungsi Ulama

                Menyimak  kembali hadits dari Abu Darda yang dikutip di atas, dan hadist ataupun ayat Qur’an di bawah ini :
1.. ”Sesungguhnya perumpamaan ulama di bumi adalah seperti bintang-bintang di langit yang memberikan petunjuk di dalam kegelapan bumi dan laut. Apabila dia terbenam maka jalan akan kabur. (HR Ahmad).

2. ”Sesungguhnya ulama itu adalah pewaris para nabi.
(HR Abu Dawud dan at-Tirmidzi).

3. Wahai manusia, belajarlah kalian, sesungguhnya ilmu itu tidak lain diperoleh dengan belajar, pemahaman itu dengan pendalaman. Siapa saja yang Allah kehendaki kebaikannya, Dia akan memahamkannya dalam masalah agama. (HR Ibn Abi Ashim dan ath-Thabrani).

Dan firman Allah SWT, Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah ulama. (QS al-Fathir [35]: 28).

Maka sangat jelas peran dan fungsi ulama dalam Islam. Berdasarkan hadist tersebut tergambar peran strategis ulama seperti (1) ulama adalah pewaris nabi; (2) ulama adalah pembimbing dan penjaga masyarakat; (3) ulama paling bertanggungjawab dalam mengontrol penguasa (muhasabah lil hukam); (4) ulama adalah  sumber ilmu dan pembina umat; (5) ulama bertanggungjawab dalam membangun kesadaran politik masyarakat; (6) ulama sebagai panutan dalam memberikan solusi terhadap persoalan masyarakat (7) ulama adalah penggerak masyarakat untuk berjihad dan melakukan perubahan masyarakat
Ulama yang digambarkan dalam hadist yang dituturkan Abu Darda tersebut akan senantiasa menjadi panutan umat dari masa ke masa. Sebagaimana dicatat oleh para ulama dan sejarahwan Islam yang kredibel, selama hidupnya di Madinah, Rasulullah saw  sekaligus juga sebagai kepala negara. Demikian juga para sahabatnya yang terdekat—Abu Bakar ash-Shiddiq, Umar bin al-Khaththab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib; semuanya pernah menjabat sebagai khalifah (kepala negara), yang terkenal dengan sebutan Khulafaur Rasyidin.
Sebagai contoh lainnya  Asy Syaikh al-Islam Ibn Taimiyah. Beliau adalah ulama yang dikenal mumpuni sekaligus dikenal karena keberanian dan keteguhannya dalam menyampaikan kebenaran, membela agama, menghidupkan Sunnah Rasul saw., dan menyerang bid'ah; meskipun untuk itu ia harus dikucilkan dan dipenjara oleh penguasa.
Ibn Taimiyah, yang lahir di Harran, salah satu kota induk di Jazirah Arabia yang terletak antara sungai Dajalah (Tigris) dan Eufrat, pada tahun 661H, sejak kecil sudah kelihatan kecerdasannya. Di samping cerdas, sejak dini beliau menginfakkan seluruh waktunya untuk belajar secara sungguh-sungguh dan tiada putus-putusnya mencari ilmu kepada para ulama terkemuka saat itu. Wajar jika belum genap umur tujuh belas tahun beliau sudah siap mengajar dan berfatwa. Kemudian beliau menjadi tokoh fuqaha dan bahkan mendapatkan gelar Syaikh al-Islam. Sebab, penguasaan Ibnu Taimiyah dalam berbagai disiplin ilmu-seperti bahasa Arab, ushuluddin, ulumul quran, ulumul hadits, tafsir, fikih, ushul fikih, dll-sangat sempurna hingga beliau melampaui kemampuan para ulama zamannya. Lebih dari 300 judul buku bermutu dari berbagai disiplin ilmu lahir dari tangannya. (Lihat: Sayr A'lâm an-Nubalâ' hlm. 290. Lihat juga: Ma'rifah al-Qurâ' al-Kibâr, 260).
"Pada zamannya, beliau adalah satu-satunya yang terbaik dalam hal ilmu, kezuhudan, keberanian, kemurahan, amar makruf nahi mungkar, dan banyaknya buku-buku yang disusun," demikian komentar Imam adz-Dzahabi (w. 748 H) tentang Ibn Taimiyah. (M. Mahdi al-Istanbuli. Ibn Taimiyah, Bathal al-Islâh ad-Dîni. 1977, cet. II. Damaskus: Maktabah Dar al-Ma'rifah).
Sejarah telah mencatat, Ibnu Taimiyah juga adalah seorang da'i yang tabah, teguh, wara', zuhud, dan ahli ibadah. Sikap demikian tampak, misalnya, ketika beliau berhadapan dengan Qazhan, Raja Tatar  yang kemudian masuk Islam, dan dipanggil Mahmud.
Syaikh Umar Ibn Abi Bakar al-Balisi, salah seorang anggota utusan penguasa Tatar, menuturkan bahwa dalam majelis Qazhan suatu ketika pernah dihidangkan makanan. Mereka lalu memakan makanan itu, kecuali Ibn Taimiyah. Dia kemudian ditanya, "Anda tidak makan?" Ibn Taimiyah menjawab, "Bagaimana mungkin saya memakan makanan kalian, sementara semuanya berasal dari harta kaum Muslim yang kalian rampas, dan kalian pun memasak makanan dengan kayu-kayu bakar yang berasal dari pohon-pohon mereka yang kalian tebang?!"
Diriwayatkan pula, Qazhan pernah meminta Ibn Taimiyah untuk mendoakannya. Lalu Ibn Taimiyah pun berdoa, "Ya Allah, jika hamba-Mu ini, Mahmud, berperang semata-mata demi meninggikan kalimat (agama)-Mu dan agar (kemenangan) agama ini hanya milik Allah maka tolonglah dia, kuatkanlah dia, dan jadikanlah dia penguasa negeri ini dan rakyatnya. Akan tetapi, jika dia berperang karena riya dan sum'ah, demi meraih dunia, atau untuk merendahkan Islam dan kaum Muslim maka hancurkanlah dia, guncangkanlah dia, dan musnahkanlah dia."
Setelah itu, Qadhi Qudhat Najmuddin bin Shishri dan yang lainnya berkata kepada Ibn Taimiyah, "(Dengan doa itu), hampir saja engkau mencelakakan kami dan dirimu. Demi Allah, sejak sekarang, kami tidak ingin menyertaimu lagi."
Ibn Taimiyah balik menjawab, "Demi Allah, saya pun tidak ingin menyertai kalian lagi." (Al-Bidâyah wa an-Nihâyah, XIV/89).
Pada masa Sultan al-Malik an-Nashir, pernah akan diberlakukan kebijakan agar para ahli dzimmah (kafir dzimmi) wajib membayar jizyah kepada negara sebanyak 600.000 dinar setiap tahun sebagai tambahan atas jizyah yang berlaku saat itu. Ibn Taimiyah lalu menentang keras kebijakan itu hingga akhirnya kebijakan itu gagal dilaksanakan. (As-Suyuthi, Târikh al-Khulafâ', hlm. 578).
Lebih dari itu, Ibn Taimiyah adalah juga seorang ulama mujahid pemberani yang ahli berkuda, yang tidak pernah takut mati. Beliau adalah pembela setiap jengkal tanah umat Islam dari kezaliman musuh dengan pedangnya. Imam Muhammad bin al-Hadi menuturkan bagaimana keberanian Ibn Taimiyah bertempur dalam Perang Syaqhab yang terkenal.
Ibn Taimiyah beberapa kali dipenjara, disiksa, bahkan diusir oleh penguasa. Semua itu adalah 'buah' dari ketegaran, keberanian, dan kelantangan beliau dalam mengajak pada al-haqq, yang akhirnya justru membakar kedengkian serta kebencian sebagian penguasa, ulama, dan orang-orang yang tidak senang kepada beliau. Akan tetapi, semua itu beliau hadapi dengan tabah dan tenang. Dalam syairnya yang terkenal beliau bahkan bertutur: Keterpenjaraanku adalah khalwat/ Kematianku adalah kesyahidan/ Keterusiranku adalah tamasya."
Karena itu, meski di penjara, pikiran beliau tetap jernih; beliau tetap berdakwah dan bahkan semakin produktif menulis buku dari berbagai disiplin ilmu. Di dalam penjara, banyak penghuninya yang menjadi murid beliau. Mereka diajari agar senantiasa berpegang teguh pada syariat Allah; selalu beristigfar, bertasbih, dan berdoa kepada-Nya; serta senantiasa melakukan amalan-amalan salih. Berkat kewibawaan beliau, suasana penjara menjadi ramai dengan aktivitas ibadah kepada Allah. Yang menakjubkan, banyak penghuni penjara yang sudah mendapat hak bebas ingin tetap tinggal di penjara bersamanya untuk menjadi muridnya. Beliau akhirnya wafat 20 Dzulhijjah 728 H di dalam penjara setelah tinggal selama dua tahun tiga bulan dan beberapa hari.
Demikian juga seperti yang terjadi pada Abu Muslim al Khaulani. Tatkala Khalifah Muawiyah memulai pidatonya pada suatu hari, Abu Muslim Al Khaulani berdiri dan mengatakan tidak mau mendengar dan mentaati khalifah. Ketika ditanya alasannya, beliau menjawab, “Karena engkau (khalifah) telah berani memutuskan bantuan kepada kaum muslimin dari baitul mal. Padahal harta itu bukan hasil keringatmu dan bukan harta ayah ibumu”. Mendengar itu Muawiyah sangat marah, lalu turun mimbar, pergi, dan sejenak kembali dengan wajah yang masih basah. Ia membenarkan apa yang dikatakan Abu Muslim dan mempersilakan siapa saja yang merasa dirugikan boleh mengambil bantuan dari baitul mal (Al Badri, Peran Ulama dan Penguasa, hal. 101).
Banyak lagi sikap para ulama seperti ini. Ulama sekaliber Imam Hanafi, Imam Hambali, imam Syafi’i, imam Maliki, Ibnu Taimiyah, Abu Muslim Al Khaulani dan para shahabat maupun shahabiyat  inilah yang sangat dinanti umat. 

Solusi Islam

                Suatu kerusakan yang sangat besar manakala ulama tidak berperan sebagaimana mestinya, seperti yang digambarkan oleh Rasulullah SAW. Oleh karena itu sangat diperlukan upaya-upaya yang mengarah pada terwujudnya gambaran ulama ideal sebagai pewaris nabi. Ulama yang mewarisi risalah kenabian, yang dengan risalah tersebut berupaya keras untuk melaksanakan amar ma’ruf nahi mungkar. Demi hilangnya kemaksiatan di tengah masyarakat. Demi lenyapnya kebathilan, dan hanya yang haq lah yang berhak untuk terus berlangsung di muka bumi.
                Oleh karena itu jalan yang bisa ditempuh adalah :
1.       Membangun kesadaran ideologis pada ulama. Kondisi deideologis ulama harus dilenyapkan secara tuntas, dengan mengembalikan ulama pada ideologi Islam kaffah. Sebab, jika kesadaran ideologis ini tidak diwujudkan, maka ulama hanya akan memiliki kerangka berpikir yang sempit, yakni sebatas Islam ritual. Selain itu, ulama juga tidak akan memperdulikan kiprah penguasa dalam mengelola negara dan mengatur urusan umat, karena akan dianggap bahwa hal tersebut bukan urusan ulama. Membangun kesadaran ideologis pada ulama dapat dilakukan dengan cara mengajak ulama untuk kembali kepada jatidirinya sebagai pewaris risalah kenabian.

2.       Mendorong ulama berperan lebih aktif, agar marginalisasi ulama segera hilang. Ulama kembali menjadi penerang dan menunjukkan manusia kepada kebenaran Islam sebagaimana bintang yang memberikan petunjuk di daratan maupun di lautan. Sebab, jika ulama tidak didorong untuk berperan aktif, akan semakin membuat ulama tenggelam dalam penyimpangan perannya. Pada gilirannya umat akan semakin menyimpang dan rusak.
Agar lebih aktif, ulama harus membuka diri terhadap segala permasalahan yang ada dan melibatkan diri untuk mencari solusi atas setiap permasalahan berdasarkan  keilmuannya yang mencakup berbagai aspek kehidupan.

3.       Menyatukan kembali ulama dan umat. Hal ini sangat penting untuk dilakukan. Sebab, jika ulama dan umat tidak bersatu maka keruntuhan masyarakat tinggallah menunggu waktu. Ulama dan umat akan mudah diadu domba oleh penguasa komprador, yang pada gillirannya akan semakin mengokohkan sistem kufur yang kini tengah mendominasi.
Oleh karena itu diperlukan konsolidasi yang serius antara umat dan ulama dengan menghilangkan segala stigmatisasi terhadap ulama. Umat juga perlu diberi penjelasan segamblang-gamblangnya agar tidak terkecoh oleh upaya black propaganda terhadap ulama yang lurus oleh penguasa antek penjajah kafir, ataupun oleh kafir penjajah itu sendiri. Umat harus dibiasakan berpikir kritis dan politis sehingga mampu membedakan antara fakta dan rekayasa. Maka peran umat dan peran ulama dalam membangun masyarakat Islami akan tumbuh dan berkembang.

4.                   Urgensi sistem Islam (khilafah Islam). Bagaimanapun gambaran kilau Islam hanya dapat diwujudkan dengan  diterapkan seluruh syariat Islam dalam bingkai khilafah Islam. Begitu juga kilau kecerdasan para ulama dan benderangnya wujud pewaris para nabi terrsebut akan semakin tampak manakala Islam diterapkan secara sempurna.
Pada satu sisi ulama dapat mengambil peran dalam mewujudkan sistem Islam di tengah masyarakat. Pada sisi yang lain, peran ulama sebagai pewaris nabi juga akan terwujud ketika Islam diterapkan. Sebab, jika terjadi penyimpangan dalam perannya, para ulama akan segera dikembalikan lagi ke arah sistem yang lurus. Sementara jika dibandingkan dengan kondisi saat ini, manakala sistem Islam tidak diterapkan, penyimpangan yang dilakukan oleh ulama seakan tidak terperhatikan. Sehingga ulama yang menyimpang tadi semakin tenggelam dalam penyimpangannya.
Hal-hal di atas sangat penting untuk ditempuh baik atas dasar keinginan intern dari ulama itu sendiri ataupun dari pihak ekstern ulama, semisal para pengemban dakwah yang sedang berjuang untuk menerapkan Islam kaffah di tengah masyarakat. Para pengemban dakwah yang berjalan di jalan yang lurus dapat dipastikan memahami peran ulama yang semestinya. Maka peran para pengemban dakwah untuk beramar ma’ruf kepada ulama agar mereka kembali kepada perannya sangat penting untuk segera dilakukan.
Berdasarkan bahasan di atas, segenap ulama penting untuk introspeksi supaya tidak tergolong pada ulama buruk yang membantu kezhaliman dan membantu hancurnya penguasa yang berujung pada hancurnya umat. Begitu pula, umat Islam sangat tepat bila kembali kepada ajaran Islam. Allah SWT memerintahkan untuk mengikuti seluruh apa yang dibawa oleh Rasulullah SAW dan menjauhi apa saja yang dilarangnya. Kebenaran Islam dari manapun datangnya tidak boleh ditolak. Sebaliknya, kebathilan darimanapun asalnya, siapapun yang menyatakannya, harus ditentang. Sebab, Allah SWT berfirman :
“Dan apa saja yang dibawa oleh Rasul, ambillah. Dan apa saja yang dicegah oleh Rasul, jauhilah” (QS. Al Hasyr [59] : 7).
Kembali terwujudnya ulama pewaris nabi di tengah-tengah umat telah menjadi dambaan. Bahkan bisa jadi  para pengemban dakwah itu sendirilah yang merupakan ulama pewaris nabi yang sangat dinanti dan didamba oleh umat. Sebagaimana telah ditunjukkan oleh Syaikh Taqiyuddin An Nabhani, Syaikh Abdul Qodim Zallum, Sayyid Qutb dan lain-lain. Oleh karena itu, mari bersegera menempa diri untuk menjadi ulama pewaris nabi!  16032007. ^_^

 * makalah diskusi forum terbatas Maret 2007  (dari berbagai sumber), Hera Anggarawaty





Tidak ada komentar:

Posting Komentar