Rabu, 30 Desember 2015

Modul Islam Damai : Kebijakan atau Penyesatan?

DETIKISLAM.COM - Modul pembelajaran Islam Damai telah diluncurkan oleh Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin  pada Selasa 11 Agustus 2015 lalu. Modul tersebut akan  diberlakukan di semua tingkat pendidikan di Indonesia mulai SD hingga SMA dan SMK. “Modul ini, modul pelatihan agar bagaimana nanti guru-guru Pendidikan AgamaIslam (PAI) mempunyai paradigma yang sama terkait substansi materi ajar dan metodologi penyampaiannya,” kata Menag Lukman Hakim, saat peluncuran modul tersebut di Asrama Haji Pondok Gede, Bekasi, Jawa Barat. Dikatakan bahwa, modul baru ini  akan menghantarkan siswa untuk belajar tentang Islam sebagai agama yang menghormati keragaman dan mempromosikan perdamaian dan toleransi yang mereka sebut sebagai  ajaran Islam yang berbasis rahmatan lil ‘alamin.
Metode baru pengajaran Islam ini diharapkan  akan menciptakan manusia yang mencintai perdamaian, menjunjung tinggi penghormatan terhadap perbedaan budaya dan agama dan mengimplementasikan demokrasi. Lebih lanjut, Menteri menyebutkan bahwa kurikulum  baru pendidikan agama Islam ini adalah respon pemerintah untuk memenuhi kebutuhan pelajaran agama yang mempromosikan perdamaian di tengah meningkatnya penyebaran doktrin kekerasan dan radikal di lembaga akademis. (Republika).
Kemenag telah melakukan proyek percontohan untuk modul pembelajaran Islam ini di empat provinsi yaitu Jawa Tengah, Jawa Barat, Sumatera Utara, dan Sulawesi Utara, seperti yang dikatakan Direktur Pendidikan Agama Islam (PAI) Amin Haedari. “Kalau di Jabar itu dipilih karena semangat pertumbuhan mempelajari Islamnya tinggi sekali, Jateng terdapat banyak kekerasan, Sumut itu pemeluk Islam dibanding agama lainnya fifty-fifty dan di Sulut itu karena Islam di sana minoritas,” kata Amin.
Sejumlah guru telah disiapkan untuk menerapkan modul pembelajaran Islam damai ini. Sebelumnya, pada bulan Desember 2014, 30 orang guru PAI terpilih  dari 405 orang calon dari berbagai wilayah di Indonesia telah dikirim ke Religious Education, Oxford University, UK. Dari Oxford ini, para guru dikabarkan mendapatkan cara untuk mengajarkan pelajaran agama dengan cara menyenangkan, interaktif, dan berlangsung secara dua arah.
Multikulturalisme sebagai inti
Semakin banyaknya kaum muslimin yang mulai menyadari bahaya Pluralisme, telah membuat kelompok Liberal berupaya untuk mengganti peluru yang akan diarahkan kepada Islam dan kaum muslimin dalam upaya melakukan penyesatan. Apalagi Majelis Ulama Indonesia pada tahun 2005 telah memfatwakan haramnya faham pluralisme, dan faham ini juga telah ditolak oleh ormas-ormas Islam. Maka faham pluralisme telah berganti baju menjadi multikulturalisme.
Faham pluralisme yang mereka opinikan sebagai hal yang sifatnya sunatullah merupakan pemelintiran terhadap istilah pluralitas. Pluralitas (kemajemukan) memang merupakan suatu fakta di tengah masyarakat dan sunatullah, namun istilah pluralisme yang diusung kelompok liberal telah mengandung makna filosofi tertentu dalam memandang realitas plural yang ada, yaitu mengarah pada kemajemukan agama yang ada di tengah masyarakat, maka dikenal dengan istilah pluralisme agama. Di sinilah masalah mulai muncul tatkala dalam faham pluralisme ini difahamkan bahwa semua agama adalah benar  Karena diopinikan semua agama benar, sekali pun itu agama ardhi, maka seseorang boleh saja berpindah agama kapan pun dan kepada agama manapun, dengan alasan apapun.
Pemahaman ini tentu saja sangat bertentangan dengan Islam, karena hanya Islam sebagai agama yang benar(Qs. Ali-Imran [3]: 19), agama selain Islam adalah tidak benar dan tidak diterima oleh Allah SWT (Qs. Ali-Imran [3]: 85). Dengan faham pluralisme agama, telah menyamakan kebenaran Islam dengan agama lain termasuk dengan agama ardhi. Tentu saja hal ini akan mereduksi pemahaman dan keyakinan kaum muslimin, akan tauhid dan kekaaffahan Islam. Oleh karena itu menjadi tindakan yang sangat tepat manakala pada tahun 2005 Majelis Ulama Indonesia dan didukung ormas-ormas Islam telah memfatwakan keharaman faham pluralisme agama ini.
Pasca dirilisnya fatwa MUI ini, kelompok liberalis seolah tiarap sejenak, untuk mengolah akal agar tetap dapat menyusupkan faham-faham kufur ke tengah kaum muslimin dengan didukung Barat sebagai musuh Islam yang nyata. Hasilnya kelompok liberalis telah mengganti istilah pluralisme dengan istilah multikulturalisme. Bukan tanpa alasan Barat terlibat dalam proyek penyesatan ini, salah satu buktinya short course 30 orang guru yang disiapkan sebagai ujung tombak pengajar modul Islam damai ini, dilakukan di Oxford University, Inggris. Short course itu sendiri terlaksana atas kerjasama Kemenag dengan ACDP (Analytical and Capacity Development Partnership) suatu organisasi nirlaba yag dibiayai oleh negara-negara Eropa.
Penulis dan pemikir Islam Adian Husaini mengatakan inti dan substansi dari multikulturalisme adalah kesediaan menerima kelompok lain secara sama sebagai satu kesatuan. Tanpa membedakan perbedaan budaya, etnik, gender, bahasa bahkan agama. (Hidayatullah.com)
Lebih lanjut Adian menjelaskan bahaya pendidikan berwawasan multikulturalisme ini, bahwa multikulturalisme mendorong seorang muslim untuk melepas wawasan keimanannya. Muslim dijerat untuk berfikir bahwa tiada beda antara tauhid dan syirik. Agama diletakan dalam ranah pribadi. Di ranah publik, semua harus diperlakukan sama. Jangan peduli apakah agama atau budaya itu sesat atau bejat. Negara tidak berurusan dengan kesesatan dann kebenaran. Negara harus netral.
Pluralisme yang telah berganti baju menjadi multikulturalisme inilah yang menjadi inti ajaran agama Islam dalam modul Islam Damai yang baru-baru ini diluncurkan Kemenag. Mengingat bahayanya faham pluralisme,maka demikian pula dengan multikulturalisme, sama bahayanya. Hal inilah yang akan mereduksi pelajar muslim dalam memahami Islam yang lurus, bahkan wawasan keimanan para pelajar muslim akan sangat terancam.
Penyesatan, pemelintiran dan pembaratan
Multikulturalisme secara inti dan substansial setali tiga uang dengan pluralisme, alias sama saja. Dalam modul Islam damai ini pula telah dipelintir makna rahmatan lil ‘alamin. Makna rahmatan lil ‘alamin versi modul Islam damai cenderung mengarah pada toleransi yang kebablasan karena berujung pada penyeragaman semua agama dan merelatifkan kebenaran. Padahal makna rahmatan lil ‘alamin menunjukkan bahwa Islam adalah kebaikan dan mashlahat untuk masyarakat pada setiap masa di seluruh wilayah di dunia muslim maupun non muslim.Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin hanya akan mewujud jika Islam diterapkan secara menyeluruh dan sempurna.
Dijelaskan dalam tafsir Fathul Qadiir maksud  firman Allah SWT :
Dan tiadalah Kami mengutus kamu (Muhammad), melainkan untuk menjadi rahmat bagi semesta alam” (QS. Al Anbiya : 107)
Yaitu tidaklah Kami mengutus Engkau wahai Muhammad dengan syariah dan hukum kecuali menjadi rahmat bagi seluruh manusia.   Dengan demikian Islamsebagai rahmatan  lil alamin akan terwujud dengan penerapan syariah Islam, bukan yang lain.
Fakta sejarah peradaban Islam yang membentang selama lebih dari 1400 tahun menjadi bukti nyata kemampuan Islam sebagai rahmatan lil’alamin. Sejarahwan terkemuka seperti Will Durant, dalamThe Story of Civilization, vol. XIII, mengakui kehebatan peradaban Islam. Ia menulis: “Para khalifah telah memberikan keamanan kepada manusia hingga batas yang luar biasa besarnya bagi kehidupan dan kerja keras mereka. Para khalifah itu juga telah menyediakan berbagai peluang untuk siapapun yang memerlukan dan memberikan kesejahteraan selama berabad-abad dalam wilayah yang sangat luas.Fenomena seperti itu belum pernah tercatat (dalam sejarah) setelah zaman mereka. Kegigihan dan kerja keras mereka menjadikan pendidikan tersebar luas, hingga berbagai ilmu, sastera, filsafat dan seni mengalami kemajuan luar biasa, yang menjadikan Asia Barat sebagai bagian dunia yang paling maju peradabannya selama lima abad.”
Maka sangat tidak mungkin mewujudkan Islam sebagai rahmat jika pemahaman Islam justeru didangkalkan, bahkan diterapkanpun tidak sama sekali seperti klaim kemenag dalam modul Islam damai.Klaim kemenang dalam modul Islam damai yang dikatakan berbasis rahmatan lil alamin justru memelintir makna rahmatan lil alamin itu sendiri.
Selain itu, melalui modul Islam damai juga telah dilakukan upaya pembaratan. Sebab 30 guru PAI yang berangkat ke Oxford tidah hanya sekedar diajari  cara mengajar, tetapi juga mereka diajak mengunjungi gereja-gereja, sekolah-sekolah agama  yang mereka kunjungi di Inggris  dan ditunjukkan juga kultur masyarakat barat, baik melalui museum-museum yang dikunjungi  maupun diperlihatkan secara nyata dalam kehidupan untuk menunjukkan ‘hebat’nya peradaban Barat.
Seperti yang terungkap dalam catatan perjalanan, salah seorang dari 30 guru PAI yang mengikuti short course ini, yang begitu sangat mengagumi ‘kerukunan antar ras, agama, dan  suku bangsa di Inggris baik penduduk asli dan imigran. Juga kekagumannya terhadap peradaban Barat. Tentu pembaratan yang dilakukan terhadap para guru ini akan ditularkan kepada para muridnya. Inilah racun bagi pendidik-pendidik  muslim yang akan menyebarkan racun nilai-nilai kufur Barat kepada siswa-siswa mereka.
Apa yang dimaksud dengan Islam Damai tidak lain adalah promosi  pemikiran kufur kapitalisme namun diangkat seolah-olah  tidak bertentangan dengan Islam sedemikian rupa, bahkan sebagian muslimmenganggap pemikiran-pemikiran tersebut adalah  bagian dari Islam, sebagaimana  demokrasi, pluralisme dll.
Di sisi lain, promosi Islam Damai ini juga  mencela pemikiran-pemikiran Islamtertentu dan menggambarkannya  sebagai tidak beradab dan ketinggalan jaman  dan harus dibuang jauh-jauh, seperti hukum  jihad, Hudud, poligami dan beberapa  aturan Islam  lainnya. Jelaslah bahwa  modul ini akan membentuk kepribadian muslim  yang tidak memiliki  rasa malu ketika  meninggalkan kewajiban agamanya  dan melakukan yang  dilarang agama (Haram). Maka modul ini akan menghancurkan kecintaan terhadap  Islam dan nilai-nilainya, juga melenyapkan ghirah  Islam sehingga seorang muslim tidak lagi membenci  kekufuran, dan ia tidak lagi  melakukan amar ma’ruf nahi munkar. Dengan ini, generasi Islam akan kehilangan imunitasnya untuk menolak semua unsur dari luar Islam. Tanpa imunitas ini, kekuatan perasaan dan intelektual yang dimiliki umat untuk menolak segala bentuk penjajahan  akan hilang.
Sangat penting disadari, penanaman Islam Damai ini adalah upaya sistematis untuk menjauhkan umat Islamdan generasinya dari aqidah dan syariah Islam.  Bahkan ini akan menjauhkan mereka dari kebangkitan Islam. Selain itu,  Islam Damai  atau Islam ‘rahmatan lil alamin’ telah berkampanye menentang kaum muslimin yang bersungguh-sungguh berjuang untuk membangun kembali negara Islam atau Khilafah Islamiyah.
Islam Memandang Pluralitas
Islam memandang bahwa pluralitas agama, keyakinan, dan budaya bukanlah ancaman atau penyebab dasar terjadinya konflik. Islam juga tidak memandang adanya klaim kebenaran (truth claim) dari agama dan keyakinan sebagai pemicu munculnya peperangan dan konflik. Oleh karena itu, Islam tidak berkehendak untuk menghapuskan truth claim masing-masing agama atau keyakinan ataupun berusaha menyeragamkan “pandangan tertentu” pada setiap agama, kelompok, maupun mazhab, seperti yang dilakukan oleh kelompok pluralis.
Perlakuan Islam terhadap keragaman budaya, agama, dan keyakinan bukan dengan cara menghapuskan truth claim atau menghancurkan faham agama-agama selain Islam, seperti gagasan kaum pluralis yang beraliran unity of transenden maupun global religion. Akan tetapi, Islam mengakui adanya pluralitas, dan memberikan perlindungan (proteksi) atas keragaman tersebut.
Ketika kekuasaan Islam telah membentang mulai dari Jazirah Arab, Syam, Afrika, Hindia, Balkan, dan Asia Tengah tidak ada penyeragaman warga negara maupun upaya-upaya untuk memberangus pluralitas. Padahal dengan wilayah seluas itu, daulah Islam memiliki keragaman budaya, pemikiran, keyakinan dan agama yang sangat kompleks. Akan tetapi, hingga Kekhilafahan terakhir tak ada satu pun pemerintahan Islam yang mewacanakan adanya keseragaman atau berusaha menghapuskan pluralitas agama, budaya, dan keyakinan. Bahkan penerapan syariah Islam saat itu berhasil menciptakan keadilan, kesetaraan, dan rasa aman bagi seluruh warga negara, baik muslim maupun non-muslim. Kita bisa berkaca dari sejarah Palestina. Sejak Umar bin al-Khaththab memasuki Palestina pada tahun 637 M, penduduk Palestina hidup damai, tenteram, tidak ada permusuhan dan pertikaian, meskipun mereka menganut tiga agama besar yang berbeda: Islamkristen dan Yahudi.
Keadaan ini sangat kontras dengan apa yang dilakukan oleh tentara Salib pada tahun 1099 Masehi. Ketikatentara Salib berhasil menaklukkan Palestina, kengerian, teror, dan pembantaian pun disebarkan hampir ke seluruh kota. Selama dua hari setelah penaklukkan, 40.000 kaum muslim dibantai. Pasukan Salib berjalan di jalan-jalan Palestina dengan menyeberangi lautan darah. Keadilan, persatuan, dan perdamaian tiga penganut agama besar yang diciptakan sejak tahun 637 oleh Umar bin al-Khaththab hancur berkeping-keping. Meskipun demikian, ketika Shalahuddin al-Ayyubi berhasil membebaskan kota Quds pada tahun 1187 Masehi, beliau tidak melakukan balas dendam dan kebiadaban serupa.
Inilah sebagian fakta sejarah yang menunjukkan bahwa penerapan syariah Islam dalam  Negara Khilafah tetap melindungi dan mentoleransi adanya keragaman dan kebhinekaan. Tidak ada penyeragaman; tidak ada pemberangusan terhadap pluralitas; tidak ada pemaksaan atas non-muslim untuk masuk Islam; dan tidak ada pengusiran terhadap non-muslim dari wilayah Kekhilafahan Islam. Yang terjadi justru perlindungan terhadap non-muslim. Lebih dari itu, pemerintah Islam dengan syariah Islamnya benar-benar telah mewujudkan keadilan.
Hakikat Pendidikan dalam Islam
Islam menjadikan aqidah Islam sebagai landasan kurikulum pendidikan. Sebab tujuan pendidikan Islam adalah untuk mewujudkan generasi pemimpin yang tentu saja memerlukan kurikulum yang berkualitas yang disusun berdasarkan Islam. Berbeda dengan kurikulum pendidikan yang saat ini cenderung disusun berdasarkan kebutuhan pasar atas dasar pemahaman kapitalisme sekuler.
Materi dan metode pendidikan didesain sedemikian rupa yang mengarah pada pembentukan peserta didik memahami dan meyakini keberadaan Allah swt dengan sifat uluhiyahnya merupakan realitas. Kesadaran ini diwujudkan dengan memandang keridhoan Allah swt sebagai kebahagiaan tertinggi dan keterikatan pada syariat Allah adalah mutlak. Peserta didik memandang bahwa hanya Islam sebagai sistem kehidupan yang layak bagi manusia. Di atas prinsip inilah akhlaq mulia benar-benar menghiasi segenap aktivitas para peserta didik.
Secara historis telah terbuktikan bahwa sistem pendidikan yang pernah dilakukan pada masa khilafah telah mampu membentuk generasi pemimpin yang telah menjadi pelopor di segala bidang kehidupan. Mulai dari pemerintahan, sains dan teknologi, milier hingga ekonomi. Keberhasilan ini telah diakui dunia.
Di samping itu dalam sistempendidikan Islam semua pelajaran akan mampu menghasilkan individu muslim dengan iman yang kuat dan pemahaman Islam  yang mendalam lagi jelas  yang mampu  membedakannya dari pemahaman tentang kufur. Pendidikan Islam juga mampu menghasilkan pribadi-pribadi yang  menolak segala bentuk ketidakadilan, penindasan dan imperialisme. Karena itu saat  ini yang kita butuhkan adalah adanya sistem pendidikan Islam di bawah naungan Khilafah. Bukan arahan kurikulum yang didasarkan pada peradaban sekuler Kapitalistik yang justru  menghambat berdirinya kembali Khilafah, menghambat diterapkannya sistem Islam secara menyeluruh dan sempurna.
Penutup
Modul Islam damai yang berintikan multikulturalisme telah mereduksi Islam sebagai agama yang benar, maka upaya pemerintah dalm hal ini Kemenag harus dihentikan. Modul Islam damai akan merusak generasi baru kaum muslimin ke arah generasi yang lemah terhadap mafhum Islam yang lurus, dan pada saat yang sama begitu toleran pada agama lain sehingga akan sangat permisif terhadap ide lain di luar Islam, termasuk upaya pembebekan terhadap Barat. Akibatnya tidak akan ada lagi semangat amar ma’ruf nahyi mungkar,dan akan merasa cukup dengan pelaksanaan ajaran Islam yang seadanya. Tentu saja hal ini akan menjauhkan kaum muslimin dari upaya penerapan Islam secara kaaffah dalam bingkai Khilafah Islamiyah. Wallahu’alam.[]Oleh : Hera Anggarawaty (Penulis & Pemerhati Masalah Pendidikan dan Dunia Islam)
Dimuat 4 Desember 2015 di http://detikislam.com/sorot/modul-islam-damai-kebijakan-atau-penyesatan/

Jumat, 30 Oktober 2015

Ketika Negara Gagal Melindungi Anak

Penemuan jenazah seorang anak perempuan di dalam kardus di Kelurahan Kamal, Kalideres, Jakarta Barat, pada Jumat (2/10/2015) malam sungguh membuat prihatin.  Berdasarkan hasil otopsi, jenazah adalah  korban kekerasan seksual  sebelum dibunuh, maka ada dugaan pelakunya seorang pengidap pedofilia.
Ini hanyalah salah satu kasus yang terungkap di media. Seperti yang disebutkan kak Seto, Dewan Pembina Konsultatif Komnas PA, bahwa dari Januari hingga Mei 2015 sudah ada 500 laporan kasus kekerasan anak yang diterima Komnas PA. Jumlah kekerasan yang terjadi di lapangan tentu jauh lebih tinggi dari data yang Komnas PA terima (CNN Indonesia, 5/7/2015).
Indonesia Indicator, telah mengkaji dari 343 media online di seluruh Indonesia, baik nasional maupun lokal pada periode 1 Januari 2012 hingga 19 Juni 2015, bahwa faktor utama penyebab kekerasan terhadap anak berasal dari faktor luar atau sosial, terutama kemiskinan (pikiran-rakyat.com, 22/6/2015).
Data Komnas PA, menunjukkan bahwa pemicu kekerasan terhadap anak di antaranya: KDRT, disfungsi keluarga yaitu peran orangtua tidak berjalan sebagaimana seharusnya, tekanan ekonomi atau kemiskinan, salah pola asuh dan terinspirasi tayangan media. Jika ditelusuri lebih lanjut, semua faktor itu merupakan akibat dari pembangunan masyarakat bercorak kapitalistik dan akibat dari penerapan sistem sekular kapitalisme liberal di segala sisi kehidupan.
Makin banyak kasus kekerasan terhadap anak membuktikan bahwa sistem dan negara gagal melindungi anak. Kegagalan itu karena upaya yang dilakukan tidak menyentuh faktor penyebab apalagi akar masalahnya. Negara berfungsi sekadar pembuat regulasi dan bukan sebagai penanggung jawab dalam perlindungan warganya, terutama anak-anak. Negara pun banyak melempar tanggung jawab penyelesaian pada peran keluarga dan keterlibatan masyarakat.
Namun pada sisi lain, kebijakan pemerintah justeru mengaruskan para ibu untuk memasuki dunia kerja demi kepentingan ekonomi dan mengejar eksistensi diri dengan program pemberdayaan ekonomi perempuan. Akibatnya, ibu dipisahkan dari anak. Fungsi ibu dalam mendidik anak pun tak terlaksana. Pemerintah meminta keluarga agar menjadi pembina dan penjaga moral anak. Namun, Pemerintah pun memfasilitasi bisnis dan media yang menawarkan racun kepornoan yang dibiarkan tersebar luas.
Negara memiliki program untuk membangun ketahanan keluarga. Namun, Pemerintah justru menguatkan ide-ide penghancuran keluarga melalui pengarusutamaan gender. Negara juga tidak memiliki kurikulum yang berorientasi menghasilkan individu calon orangtua yang mampu mendidik dan melindungi anak.
Semua masalah terkait anak itu berakar pada sistem sekular kapitalis liberal yang diterapkan di berbagai lini kehidupan saat ini. Selama sistem sekular kapitalis liberal itu terus dipertahankan maka perlindungan terhadap anak akan terus menjadi masalah.
Perlindungan anak hanya bisa diwujudkan dengan menerapkan sistem Islam, yang akan mampu mewujudkan perlindungan terhadap anak dengan tiga pilar: ketakwaan individu, kontrol masyarakat serta penerapan sistem dan hukum Islam oleh negara.
Islam mewajibkan Negara untuk  membina ketakwaan individu rakyatnya, melalui kurikulum pendidikan, seluruh perangkat yang dimiliki dan sistem pendidikan baik formal maupun informal. Individu rakyat yang bertakwa tidak akan melakukan kekerasan terhadap anak. Masyarakat bertakwa juga akan selalu mengontrol agar individu masyarakat tidak melakukan pelanggaran terhadap hak anak. Masyarakat juga akan mengontrol negara atas berbagai kebijakan negara dan pelaksanaan hukum-hukum Islam.
Negara menerapkan sistem dan hukum Islam secara menyeluruh. Seperti menerapkan sistem ekonomi Islam, sehingga negara akan mampu menjamin pemenuhan kebutuhan pokok tiap individu (pangan, sandang dan papan); dan menjamin pemenuhan kebutuhan dasar akan kesehatan, pendidikan dan keamanan. Maka tekanan ekonomi sebagai salah satu faktor pemicu besar munculnya pelanggaran terhadap hak anak bisa dicegah. Kaum ibu juga tidak akan dipisahkan dari anak-anak mereka. Kaum ibu bisa melaksanakan fungsinya sepenuhnya dalam merawat dan mendidik anak-anak mereka.
Penerapan sistem Islam akan meminimalkan faktor yang bisa memicu kasus kekerasan terhadap anak. Namun, jika masih terjadi, maka sistem ‘uqûbat (sanksi hukum) Islam akan menjadi benteng yang bisa melindungi masyarakat. Untuk itu penerapan syariah Islam di bawah sistem  semestinya sesegera mungkin diwujudkan oleh seluruh kaum Muslim sehingga anak-anak akan mendapat perlindungan terbaik. WalLâh a’lam bi ash-shawâb. 

Hera Aggarawaty
Ibu Rumah Tangga
Tinggal di Bandung



MENANGKIS AGENDA FEMINISASI DI INDONESIA*‎

Feminisasi dalam sosiologi, merupakan pergeseran dalam peran gender dan peran seks dalam kelompok, masyarakat, atau organisasi ke arah fokus pada feminin, sebagai  kebalikan dari fokus budaya pada maskulinitas. Walaupun gerakan feminis lahir di Barat disebabkan perlakuan masyarakat Barat terhadap perempuan sebagai warga kelas dua, namun feminisasi ini menjadi kampanye global tidak saja di Negara-negara Barat, namun juga di negeri-negeri muslim.

Hal ini disebabkan tingkat kemsikinan yang relatif tinggi di  negeri-negeri muslim disertai visi pembangunan yang mengarah pada pertumbuhan ekonomi telah melahirkan pandangan akan perlunya kaum perempuan untuk mengambil peran dalam bidang ekonomi ini. Sementara itu penerapan sebagian hukum syariat Islam di beberapa wilayah negeri muslim telah dianggap sebagai halangan terhadap maksimalisasi peran perempuan. Termauk sistem patriarki, telah dianggap sebagai batu sandungan yang juga harus dienyahkan, karena memunculkan kesenjangan gender. Selain itu,faham barat juga begitu deras menerpa masyarakat muslim baik resmi ataupun tidak resmi.

Oleh karena itu gerakan feminisme di negeri-negeri muslim mengarah pada diwujudkannya Undang-Undang yang menuju pada kesetaraan gender, dengan didukung oleh rejim yang berkuasa, legislator, maupun masyarakat sipil. Upaya ini dimuluskan dengan maksimalisasi peran media dalam mencetak opini di tengah masyarakat.


Feminisasi ini merupakan langkah nyata dalam memerangi kesenjangan gender yang dianggap menjadi penghalang kemajuan bagi perempuan dan masyarakat dunia, maka Feminisasi merupakan upaya untuk mewujudkan kesetaraan gender.


Agenda Feminisasi di Indonesia

Indonesia sebagai salah satu negeri muslim juga merupakan sasaran gerakan feminisasi. Apalagi di beberapa wilayah di Indonesia diterapkan sebagian syariat Islam dalam bentuk Perda Syariah. Maka  kaum sekuler/liberal berupaya untuk memperbaharui atau melakukan sekulerisasi hukum sosial Islam, hukum keluarga, dan hukum-hukum yang berkaitan dengan perempuan di negeri-negeri muslim, tidak terkecuali di Indonesia.

Oleh karena itu gerakan ataupun ide feminisme telah membidik kebijakan pemerintah Indonesia atau daerah untuk melakukan sekulerisasi hukum atau undang-undang dan mengabadikan kesetaraan gender dan kebebasan liberal ke dalam konstitusi Negara. Agar nampak lebih halus, maka kalangan liberal juga mempromosikan ide Feminisme Islam. Sehingga akan terlihat seolah-olah ide feminisme juga sangat familiar dengan ide-ide Islam. Dalam hal ini, mereka berupaya memelintir ayat-ayat Al Qur’an maupun hadist untuk ditafsirkan sesuai dengan  ide feminisme.


Selain itu kaum liberal juga secara politik dan opini di media, melakukan monsterisasi terhadap hukum-hukum sosial dan keluarga dalam Islam. Karena seperti kita ketahui dalam sistem demokrasi sekuler terdapat empat kekuatan yang saling berkaitan untuk melanggengkan sistem tersebut, yaitu eksekutif, legislatif, yudikatif dan media massa.
Adapun hukum sosial Islam seperti larangan khalwat, kewajiban memakai jilbab, hukum keluarga, dan hukum-hukum yang berkaitan dengan perempuan yang mereka agendakan untuk di’rekontruksi’ semisal tentang kepemimpinan perempuan. Aturan Islam yang meletakan kepemimpinan pada laki-laki seringkali dibidik oleh kaum feminis sebagai penyebab terjadinya kesenjangan gender dan ketidakadilan terhadap perempuan, sebab dengan pola kepemimpinan dalam Islam para feminis menganggap bahwa perempuan  telah tersubordinasi dan tidak berdaya.


Tentang perwalian,bahwa dalam Islam hak wali ada pada laki-laki, hal ini juga dianggap sebagai ketidakberdayaan perempuan yang harus direkontruksi., termasuk hukum-hukum Islam tentang  hukum aborsi, hak waris, pernikahan  dini, dan sebagainya. Target rekontruksi atas hukum-hukum sosial dan keluarga tersebut adalah untuk menjadikannya sejalan dengan prinsip-prinsip Barat.


Oleh karena itu kaum feminis berupaya untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah Indonesia, baik kebijakan nasional ataupun daerah agar dilakukan sekulerisasi hukum atau undang-undang dan mengabadikan kesetaraan gender dan kebebasan liberal ke dalam konstitusi Negara, seperti meghapus kepemimpinan suami. Maka disahkan UU PKDRT (Penghapusan Kekerasan dalam rumah tangga),Amandemen UU Perkawinan, dan melahirkan CLD KHI (Counter Legal Draft Konstruksi Hukum Islam).Akibat langsung atas hal ini, justeru kasus gugat cerai semakin meningkat. Buktinya pada tahun 2009 terjadi perceraian sebanyak 10 persen, dan meningkat menjadi 14,6 persen pada akhir 2013.  Bahkan BKKBN melaporkan bahwa angka perceraian di Indonesia tertinggi se-Asia Pasifik.Dan 70 persen perceraian terjadi karena gugat cerai dari pihak istri.


Dengan prinsip kebebasan beragama, berpendapat, dan berperilaku maka ide feminisme juga merambah hak anak dengan melakukan liberalisasi anak dengan disahkannya UU Perlindungan Anak, UU Kewarganegaraan, pembatasan usia nikah dalam amandemen UU Perkawinan, CLD KHI dan lain-lain. Hal ini bukannya melindungi hak anak, justeru berakibat meningkatnya dekadensi moral dan Krisis agama.


Ide feminisme dan liberalisasi juga mengarah pada legalisasi seks bebas dan aborsi, maka muncul kebijakan pemerintah semisal amandemen UU Kesehatan Reproduksi dan Program kesehatan reproduksi remaja. Maka kasus “Married by accident” semakin marak, pada gilirannya tindakan aborsi pun turut meningkat. Data Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) menunjukkan bahwa.  jumlah seks bebas dikalangan remaja mengalami peningkatan. Usia pelaku seks bebas kian lebih muda.  Data BKKBN melansir, remaja berusia 10-14 tahun yang melakukan seks bebas mencapai 4,38 persen, sedangkan pada usia 14-19 tahun mencapai 41,8 persen. Dan 2,4 juta aborsi pada tahun 2012, dilakukan remaja usia pra nikah atau tahap SMP dan SMA.


Upaya kalangan liberal untuk mempromosikan ide Feminisme Islam.      

Seperti telah disinggung pada paparan di atas, kalangan feminis liberalis juga berupaya untuk mempromosikan ide feminisme Islam di negeri-negeri mayoritas muslim. Hal ini dilakukan pertama, dengan pendekatan metode berfikir yang mengarah pada penafsiran ayat-ayat Al Qur’an maupun hadist atas dasar akal.  Ayat yang biasa digunakan sebagai sandaran untuk menyimpangkan ajaran Islam adalah al Quran surat al-Hujurot ayat 49…”Sesungguhnya yang paling mulia di antara kalian adalah yang paling bertakwa”.
Dikatakan bahwa tidak ada perbedaan antara pria dan wanita, karena yang membedakannya di sisi Allah hanyalah ketakwaan. Selanjutnya ayat ini dijadikan sebagai asas untuk menyatakan bahwa Islam  mendukung kesetaraan 50/50, atau mereka menyebutnya sebagai kaidah “al musawah”.  Berdasarkan kaidah ini, ayat-ayat lainpun ditafsirkan sejalan dengan prinsip kesetaraan. Bila ada ayat yang tidak sejalan dengan prinsip ini, maka ayat tersebut diplintir maknanya atau diubah agar sesuai dengan kaidah al musawah tersebut.


Dengan demikian, maka penafsiran waris pun menjadi 50/50; peluang kepemimpinan pria dan wanita adalah 50/50, hak kesaksian juga 50/50, demikian halnya hak talak dan hukum-hukum lainnya pun mengikuti kaidah ini. Penafsiran nash-nash al Quran dan hadist telah diselewengkan untuk mendukung proyek kesetaraan gender 50/50 sebagaimana telah ditetapkan oleh lembaga PBB UNDP dengan cara yang sangat halus.


Kedua, propaganda negatif untuk memojokkan Islam. Syariat atau hukum  Islam dicitrakan menghambat kesetaraan. Hukum Islam dalam masalah rumah tangga seperti kewajiban istri  taat kepada suami, perlakuan suami “menghukum” istri yang tidak taat (nusyuz) dan poligami dipropagandakan sebagai bentuk-bentuk kekerasan terhadap perempuan. Padahal tindak kekerasan terjadi karena kelemahan dan kebodohan umat Islam sendiri yang mengabaikan hukum-hukum Islam, mengabaikan hak dan kewajiban antar suami-istri. Contoh lainnya seperti hukum sunat perempuan juga sering dijadikan alat untuk memojokkan  Islam, karena dianggap bias gender.
            Tujuan atas upaya-upaya kalangan liberal tersebut adalah :
1. Kepemimpinan rumah tangga bukan milik laki laki. Kendali kepemimpinan itu harus diraih perempuan, agar ketertindasan perempuan dalam rumah tangga dapat diraih. Kebebasan dan kemandirian perempuan pun dapat terwujud.


2.  Menghapuskan sistem kewajiban mencari nafkah dari pundak suami, karena akan menyebabkan ketergantungan perempuan terhadap laki-laki.


3.  Menghapuskan konsep ketaatan pada suami, karena hal ini dianggap sebagai penyebab dominasi satu pihak terhadap pihak lainnya, yaitu dominasi laki-laki terhadap perempuan.


4. Menghapuskan hukum tentang nusyuz, karena dianggap melegalisasi kekerasan dalam rumah tangga dan menghambat kebebasan perempuan.


5.  Mengopinikan bahwa perkawinan bukan ibadah, namun aktivitas sosial biasa, bisa laki-laki dengan perempuan, perempuan dengan perempuan atau laki-laki dengan laki-laki.


6. Menghapuskan konsep mas kawin (mahar)


7. Tidak perlu aqad nikah, cukup dengan kesepakatan antara suami dengan istri agar kedudukan laki- laki dan perempuan setara.


Menangkis Serangan Feminisasi

Serangan kaum liberal terhadap pandangan Syariah tentang perempuan, serta hukum-hukum sosial Islam dan hukum keluarga harus ditangkis dengan mematahkan kebohongan/ tudingan yang berkaitan dengan hukum-hukum semisal :´   perwalian yang mereka anggap menyebabkan perempuan menjadi inferior dari laki-laki;
´   Kewajiban mencari nafkah yang jatuh pada laki-laki dianggap  memunculkan ketergantungan finansial perempuan kepada laki-laki yang mengakibatkan perempuan menjadi rawan akan kemiskinan; atau
´   pernikahan dini yang dianggap seperti kekerasan terhadap anak;
´  hukum-hukum sosial yang dianggap sebagai rintangan atas kerjasama antara laki-laki dan perempuan di dalam masyarakat, dan sebagainya.


Hak wali, kewajiban mencari nafkah, hukum tentang mahar, ataupun masalah poligami yang sering diserang oleh para pengusung ide feminisme,acapkali dianggap telah memarginalkan perempuan. Sebab, hukum-hukum tersebut dianggap telah menjadikan perempuan sangat tergantung pada laki-laki,dan sangat tidak berdaya.Padahal justeru dengan hukum-hukum tersebut Islam telah memuliakan perempuan.


Kebolehan nikah muda dalam Islam, kewajiban menutup aurat, dan keharusan adanya izin bagi perempuan ketika hendak ke luar rumah dari suami atau wali, sering dianggap oleh para aktivis feminisme sebagai pengekangan Islam terhadap perempuan. Padahal dengan hukum-hukum tersebut Islam justeru telah melindungi perempuan. 


Buktinya ketika aturan Islam diterapkan secara kaaffah, perempuan sangat terjaga keamanannya.kemuliaannya maupun kehormatannya. Jangankan untuk masalah  perempuan, untuk masalah manusia yang lainnya pun terjaga dengan baik. Maka angka kriminal di daulah Islam sangat sedikit,disebabkan pemerintah Islam yang sangat memperhatikan riayah su’unil ummat. Islam tidak hanya memuliakan perempuan tetapi memuliakan manusia seluruhnya baik muslim maupun non muslim yang menjadi warga negara daulah Islam.


Rasulullah Muhammad SAW bersabda, “Aku wasiatkan kepada kalian untuk berbuat baik kepada para perempuan.” (HR Muslim: 3729).  Hadits itu jelas tidak hanya ditujukan bagi para wali, suami atau mahrom perempuan saja.  Tapi lebih dari itu, seruan itu ditujukan pula bagi penguasa yang berkewajiban untuk melangsungkan pengurusan kemashlahatan rakyat.


Keterjagaan, dan perlindungan terhadap perempuan pada sistem Kapitalisme justeru tidak didapatkan sama sekali.Yang ada justeru perempuan dieksploitasi, ditarik ke ranah publik secara paksa agar dapat dipekerjakan untuk menekan angka kemiskinan. Sistem Kapitalisme selain tidak mampu menjaga kemuliaan perempuan, justeru malah membuat seluruh manusia terpuruk pada titik nadir kemanusiaannya, bahkan menghilangkan sisi kemanusiaannya sama sekali, semisal fenomena LGBT (Lesbian, Gay,Biseksual, dan Transgender).


Maka tuduhan terhadap hukum-hukum Islam yang dianggap mengekang ataupun memarginalkan perempuan, sungguh tidak berdasar sama sekali. Penerapan syariah Islam dengan thariqah-nya justeru akan mengatasi masalah yang dihadapi hari demi hari oleh perempuan dalam aspek-aspek kehidupan yang berbeda, yang diakibatkan oleh penerapan sistem Kapitalisme– misalnya kekerasan, ketiadaan akses terhadap suara politik, kemiskinan, hilangnya hak-hak secara hukum, ketidakadilan, akses rendah terhadap pendidikan atau kesehatan, dan sebagainya.


Firman Allah SWT ,”Tiadalah Kami mengutus engkau (Muhammad) melainkan sebagai rahmat bagi seluruh alam. (QS al-Anbiya’ []: 107).


Syaikh an-Nawawi al-Jawi, dalam tafsir Marah Labid (Tafsir Munîr) Juz II/ 47, menafsirkan ayat itu dengan menyatakan, “Tidaklah Kami mengutus engkau, wahai makhluk yang paling mulia, dengan berbagai peraturan (bi syarâ’i‘) melainkan sebagai rahmat bagi seluruh alam, dalam agama maupun dunia, sebab manusia dalam kesesatan dan kebingungan. Allah SWT mengutus Nabi Muhammad saw. untuk menjelaskan kepada manusia jalan menuju pahala, menampilkan dan memenangkan hukum-hukum syariat Islam, membedakan yang halal dari yang haram. …”


Dengan demikian, pengertian rahmatan lil ‘âlamîn itu terwujud dalam realitas kehidupan tatkala Muhammad Rasulullah saw. mengimplementasikan seluruh risalah yang dia bawa sebagai rasul utusan Allah SWT. Lalu bagaimana jika Rasul telah wafat? Rahmat bagi seluruh alam itu akan muncul manakala kaum Muslim mengimplementasikan apa yang telah beliau bawa, yakni risalah syariat Islam dengan sepenuh keyakinan dan pemahaman yang bersumber pada al-Quran dan as-Sunnah. Manakala umat Islam telah jauh dari kedua sumber tersebut (beserta sumber hukum yang lahir dari keduanya berupa Ijma Sahabat dan Qiyas) dan telah hilang pemahamannya terhadap syariat Islam, maka tidak mungkn umat ini menjadi rahmat bagi seluruh alam; justru dunia rugi lantaran kelemahan pemahaman kaum Muslim terhadap syariat Islam. Oleh kerena itu, berbagai upaya untuk menutupi syariat Islam dan upaya menghambat serta menentang diterapkannya syariat Islam pada hakikatnya adalah menutup diri dan menghalangi rahmat bagi seluruh alam.Maka dibutuhkan adanya institusi Negara yang dapat menerapkan syariah dengan thariqohnya yang lurus,  yakni dengan khilafah. Karena tidak  akan bisa hanya dengan masuk ke parlemen yang bertujuan untuk mempengaruhi kebijakan.

Penutup

Ide feminisme ini  lahir dalam konteks sosio-historis khas di Barat, terutama pada abad 19-20.  Ketika itu, kaum perempuan tertindas oleh sistem masyarakat liberalis-kapitalis.  Oleh karena itu upaya mentransformasikan ide-ide ini ke tengah-tengah umat Islam—padahal Islam sangat memuliakan perempuan—jelas merupakan generalisasi yang dipaksakan dan secara ilmiah tentu saja tidak dapat dipertanggungjawabkan.

Ide ini merupakan turunan dari pemikiran kapitalisme-sekularisme, yang lahir dari akidah pemisahan agama dari kehidupan yang menafikan kewenangan Sang Khalik  dalam mengatur kehidupan.  Hal ini nampak ketika feminisme memberikan solusi terhadap problema yang ada tidak menyandarkan pada satu dalil syariatpun.  Ini jelas sangat bertentangan dengan Islam.


Keberadaan gerakan-gerakan ini telah mengkondisikan kaum muslimin untuk meridhai ide-ide yang ditawarkan sekaligus menjadi pengembannya, sekalipun harus sedikit demi sedikit mengikis keyakinan mereka akan kesempurnaan aturan Islam.  Atau berupaya melakukan sinkritisme antara ajaran Islam dengan ide-ide batil ini melalui labelisasi ide-ide tersebut dengan stempel Islam.


Ide feminime ini juga telah memunculkan ketimpangan dan keguncangan struktur masyarakat dan keluarga yang ditandai dengan maraknya kasus-kasus perceraian, dekadensi moral seperti free sex, anak-anak generasi ekstasi dan sebagainya.Pada gilirannya, ide ini makin menjauhkan kaum muslimin dari gambaran keagungan dan keunikan masyarakat  Islam dengan aturan hubungan sosialnya yang manusiawi  sekaligus memadamkan cita-cita kaum muslimin untuk hidup dalam masyarakat Islam. Padahal jika yang diterapkan hukum Islam, yang merupakan hukum yang tepat dari Allah Yang Maha Sempurna, maka kemaslahatan dan kemuliaan manusia akan terwujud. Firman Allah Swt,”Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin ? (TQS Al Maidah:51) 2021032015^_^

*Makalah untuk forum diskusi, direkontruksi  oleh Hera Anggarawaty,dari :
1. Agenda Feminisasi untuk menerang syariat Islam : ppt jalsah siyasiah Februari 2015 oleh Najmah Saiidah
2. Strategi Feminisasi di Indonesia oleh dr.Arum Harjanti
3.http://hizbut-tahrir.or.id/2012/04/04/krisis-ideologi-dan-solusi-syariat-islam/
4.sumber-sumber lainnya

Kabut Asap, Mengapa Terus Berulang?

Muslimdaily.net – Musibah kabut asap seolah menjadi musibah langganan untuk wilayah Sumatera dan Kalimantan, bahkan cakupan kabut asap tahun 2015 ini paling luas; meliputi wilayah di 12 provinsi, dengan luas jutaan kilometer persegi. Kabut asap pekat terutama menyelimuti wilayah Sumatera Selatan, Jambi, Riau, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan. Di Sumatera, kabut asap menyelimuti 80 persen wilayahnya (Kompas, 5/9).
Nilai kerugian akibat bencana asap pada tahun 2015 belum bisa dihitung. Namun,Menurut Kepala BNPB Willem Rampangilei, kerugian akibat kebakaran lahan dan hutan serta bencana asap di Riau tahun 2014 lalu, berdasarkan kajian Bank Dunia, mencapai Rp 20 triliun.
Bencana kabut asap juga telah menyebabkan bencana kesehatan massal. Sebanyak 25,6 juta jiwa terpapar asap, yaitu 22,6 juta jiwa di Sumatera dan 3 juta jiwa di Kalimantan. Puluhan ribu orang menderita sakit. Hingga 28/9, di Riau saja tercatat 44.871 jiwa terjangkit Infeksi Saluran Pernapasan Akut/ISPA (Riau Online, 28/9). Jumlah itu masih mungkin akan bertambah. Jumlah itu belum ditambah total puluhan ribu kasus ISPA di Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Tengah dan daerah lainnya.
Sebagian musibah yang ditimpakan oleh Allah SWT terhadap manusia adalah akibat perbuatan manusia sendiri, termasuk bencana kabut asap. Musibah tersebut seharusnya menyadarkan manusia akan kesalahan mereka sehingga mereka segera kembali ke jalan yang benar.”Telah tampak kerusakan di daratan dan di lautan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah menimpakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar) (TQS ar-Rum [30]: 41).
Penyebab kebakaran di Indonsesia sudah banyak dikaji oleh para peneliti berbagai belahan dunia. Semua berkesimpulan bahwa ulah manusialah penyebab utama kebakaran hutan dan lahan. Pengelolaan lahan yang masih menjadikan api sebagai alat yang murah, mudah dan cepat menjadi inti dari penyebab kebakaran.
Kebakaran lahan dan hutan yang cukup dahsyat sudah terjadi setidaknya sejak 1967. Sejak itu kebakaran lahan dan hutan terus berulang tiap tahun. Semua ini menunjukkan tiga hal. Pertama: Penindakan terhadap para pelaku selama ini begitu lemah. Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho mengatakan, karena adanya pembiaran dan penegakan hukum yang lemah, pelanggaran terus terjadi (Kompas.com, 14/9). Kedua: Seolah tak pernah ada upaya Pemerintah untuk mengambil pelajaran. Padahal dengan belajar dari kasus-kasus sebelumnya, seharusnya kebakaran lahan dan hutan sudah bisa dicegah semaksimal mungkin oleh Pemerintah. Ketiga: Kebijakan/aturan tak memadai dan tak konsisten dijalankan sehingga tak bisa mencegah dan mengakhiri kebakaran lahan dan hutan. Masih banyak celah hukum sehingga para pelaku bisa lolos dari jerat hukum.
Bencana akibat kebakaran lahan dan hutan sangat sulit atau bahkan mustahil diakhiri dalam sistem kapitalis saat ini. Sebab, demi kepentingan ekonomi, jutaan hektar hutan dan lahan diberikan konsesinya kepada swasta. Padahal itulah yang menjadi salah satu akar masalahnya.
Bencana kebakaran hutan dan lahan hanya akan bisa diakhiri secara tuntas dengan sistem Islam melalui dua pendekatan: pendekatan tasyrî’i (hukum) dan ijrâ’i (praktis).
Secara tasyrî’i, Islam menetapkan bahwa hutan termasuk dalam kepemilikan umum (milik seluruh rakyat). Rasul saw. bersabda:’Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air dan api (HR Abu Dawud dan Ahmad).
Sebagai milik umum, hutan haram dikonsesikan kepada swasta baik individu maupun perusahaan. Dengan ketentuan ini, akar masalah kasus kebakaran hutan dan lahan bisa dihilangkan. Dengan begitu kebakaran hutan dan lahan bisa dicegah sepenuhnya sejak awal.
Pengelolaan hutan sebagai milik umum harus dilakukan oleh negara untuk kemaslahatan rakyat, tentu harus secara lestari. Maka mudah menyeimbangkan antara kepentingan ekonomi, kepentingan rakyat dan kelestarian hutan. Negara juga harus mendidik dan membangun kesadaran masyarakat untuk mewujudkan kelestarian hutan dan manfaatnya untuk generasi demi generasi.
Jika ternyata masih terjadi kebakaran hutan dan lahan, maka wajib segera ditangani oleh Pemerintah karena Pemerintah wajib memperhatikan urusan rakyatnya dan memelihara kemaslahatan mereka. Pemerintah akan dimintai pertanggungjawaban atas hal itu di dunia maupun diakhirat.
Adapun secara ijrâ’i, Pemerintah harus melakukan langkah-langkah, manajemen dan kebijakan tertentu; dengan menggunakan iptek mutakhir serta dengan memberdayakan para ahli dan masyarakat umum dalam melakukan pencegahan dan penanggulangan dampak kebakaran yang terjadi.
Mengakhiri kebakaran hutan dan lahan secara tuntas hanya bisa diwujudkan dengan penerapan syariah Islam secara menyeluruh. Hal itu hanya bisa diwujudkan melalui penerapan syariah Islam dalam sistem Khilafah Rasyidah yang mengikuti manhaj kenabian. Inilah yang harus sesegera mungkin diwujudkan oleh seluruh kaum Muslim negeri ini. Dengan itu berbagai bencana akibat ulah manusia, termasuk bencana kabut asap, bisa diakhiri. Pada akhirnya, masyarakat akan bisa merasakan hidup tenang tanpa merasa khawatir terhadap bencana yang berulang yang disebabkan oleh ulah manusia. Wallahu a’lam bi ash-shawâb. []
dimuat di : muslimdaily, 11 oktober 2015
http://www.muslimdaily.net/opini/kabut-asap-mengapa-terus-berulang.html 

Hentikan Kerakusan Freeport!

DETIKISLAM.COM – Seperti diberitakan (Kompas.com, 10/6), pemerintah akan memperpanjang izin operasi PT Freeport di wilayah tambang Papua selama 20 tahun. Kepala Pusat Komunikasi Publik Kementerian ESDM Dadan Kusdiana dalam jumpa pers di Jakarta, Rabu (10/6/2015) mengatakan, kepastian kelanjutan operasi selama 20 tahun tersebut menyusul persetujuan PT Freeport mempercepat perubahan rezim kontrak karya (KK) menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) sebelum kontrak berakhir pada 2021.
Selama ini pemerintah mengklaim memiliki kedaulatan penuh atas negeri ini, jika pemerintah benar sesuai klaimnya, maka operasional PT Freeport harusnya dihentikan tahun 2021. Artinya, kontraknya tidak diperpanjang. Dalam UU juga dinyatakan hanya “bisa diperpanjang”, tidak wajib, tidak harus. Jika itu dilakukan, maka itu menjadi keputusan yang paling baik dan paling menguntungkan bagi negeri ini dan rakyatnya. Apalagi pemberian ijin operasi kepada PT Freeport dan sejensinya jelas menyalahi Islam.
Dalam Islam, tambang yang berlimpah haram diserahkan kepada swasta, apalagi asing. Abyadh bin Hammal ra. menuturkan bahwa:Ia pernah datang kepada Rasulullah saw., lalu meminta (tambang) garam. Ibn al-Mutawakkil berkata, “(Maksudnya tambang) yang ada di Ma’rib.” Beliau kemudian memberikan tambang itu kepada dia. Ketika dia pergi, seseorang di majelis itu berkata (kepada Nabi saw.), “Apakah Anda tahu apa yang Anda berikan? Sesungguhnya Anda memberi dia (sesuatu laksana) air yang terus mengalir.” Ibn al-Mutawakkil berkata, “Rasul lalu menarik kembali (tambang itu) dari dia (Abyadh bin Hamal).” (HR Abu Dawud, at-Tirmidzi dan al-Baihaqi).
Islam menetapkan tambang adalah milik umum seluruh rakyat. Tambang itu harus dikelola langsung oleh negara dan seluruh hasilnya dikembalikan untuk kemaslahatan rakyat. Hanya dengan pengelolaan sesuai aturan syariah seperti itulah, kekayaan alam itu akan benar-benar menjadi berkah buat negeri ini dan penduduknya.
Selain itu Freeport telah menggambarkan kerakusan Amerika yang imperialistik, dan mencerminkan arogansi Amerika yang dengan mudahnya sekehandak hati mengeruk kekayaan negeri ini. Jika Freeport masih saja dibiarkan mengeruk kekayaan kaum muslimin di negeri ini, maka harus diakui bahwa Indonesia benar-benar terjajah, dan lembek di hadapan asing.
Karena itu, pemberian ijin ataupun perpanjangan ijin kepada swasta/asing untuk menguasai pengelolaan tambang, termasuk Freeport, jelas menyalahi Islam. Jadi, hentikan kontrak Freeport! Hentikan kerakusan Freeport! Itulah yang harus dilakukan jika benar peduli dengan kedaulatan negeri, serta ingin memberikan keuntungan terbesar bagi rakyat dan memperjuangkan nasib generasi mendatang. WalLâh a’lam bi ash-shawâb.[]Oleh : Hera Anggarawaty (Ibu RumahTangga, Tinggal di Bandung)

dimuat di detikislam.com, 27 oktober 2015
http://detikislam.com/sorot/ekonomi-islam/hentikan-kerakusan-freeport/

Kamis, 29 Oktober 2015

DI WARUNG KECIL DEPAN LEMBAGA PENDIDIKAN



warung kecil depan sebuah lembaga pendidikan
Seorang ibu dengan balitanya memasukinya
Untuk sekedar rehat,
pada pertengahan perjalanan di hari jumat

Di warung kecil depan sebuah lembaga pendidikan
Satu kelompok kursi diduduki lima orang pemuda
Ah mengapa mereka malah berkumpul disini?
Padahal  shalat jumat saatnya kini

Satu kelompok  kursi diduduki dua orang wanita berkerudung
dan seorang wanita tidak berkerudung
Para karyawati yang sedang berbincang asyik
Tentang calon suami, dan dunia kerja sebagai eksistensi
Si ibu urung bergabung
Khawatir mengusik
Padahal hati begitu tergellitik
Akan topik pembicaraan yang asyik

Satu kelompok kursi diduduki dua wanita berkerudung
Lalu si ibu bergabung
Untuk  duduk disitu
Sekedar rehat
Untuk menghormati saat shalat jumat

Ah..ah..ah
Betapa kagetnya si ibu sesudah duduk beberapa saat
ketika ternyata dua wanita berkerudung itu asyik menghisap rokok dengan nikmat
Si ibu terhenyak, baru sadar akan asap yang menyelinap
Lalu bangkit  segera agar balitanya selamat

Di warung kecil depan sebuah lembaga pendidikan
Ada shalat jumat yang terlewatkan
Padahal masa tak bisa diulang

Di warung kecil depan sebuah lembaga pendidikan
Ada asap yang menodai kerudung
Sepertinya tak khawatir tersandung…
Akan nilai akhlaq karimah
Pun sekedar adat ketimuran
Sebuah Proses?
Baiklah,
Namun tempat mestilah dipertimbangkan

Di warung kecil depan sebuah lembaga pendidikan
Ada perbincangan asyik tentang eksisensi
Dan si ibu tergelitik
Namun asap rokok memilihkan si ibu,
Untuk menjaga balitanya selamat

Bandung,23102015

Pada jumat yang panas terik