Rabu, 30 Desember 2015

Modul Islam Damai : Kebijakan atau Penyesatan?

DETIKISLAM.COM - Modul pembelajaran Islam Damai telah diluncurkan oleh Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin  pada Selasa 11 Agustus 2015 lalu. Modul tersebut akan  diberlakukan di semua tingkat pendidikan di Indonesia mulai SD hingga SMA dan SMK. “Modul ini, modul pelatihan agar bagaimana nanti guru-guru Pendidikan AgamaIslam (PAI) mempunyai paradigma yang sama terkait substansi materi ajar dan metodologi penyampaiannya,” kata Menag Lukman Hakim, saat peluncuran modul tersebut di Asrama Haji Pondok Gede, Bekasi, Jawa Barat. Dikatakan bahwa, modul baru ini  akan menghantarkan siswa untuk belajar tentang Islam sebagai agama yang menghormati keragaman dan mempromosikan perdamaian dan toleransi yang mereka sebut sebagai  ajaran Islam yang berbasis rahmatan lil ‘alamin.
Metode baru pengajaran Islam ini diharapkan  akan menciptakan manusia yang mencintai perdamaian, menjunjung tinggi penghormatan terhadap perbedaan budaya dan agama dan mengimplementasikan demokrasi. Lebih lanjut, Menteri menyebutkan bahwa kurikulum  baru pendidikan agama Islam ini adalah respon pemerintah untuk memenuhi kebutuhan pelajaran agama yang mempromosikan perdamaian di tengah meningkatnya penyebaran doktrin kekerasan dan radikal di lembaga akademis. (Republika).
Kemenag telah melakukan proyek percontohan untuk modul pembelajaran Islam ini di empat provinsi yaitu Jawa Tengah, Jawa Barat, Sumatera Utara, dan Sulawesi Utara, seperti yang dikatakan Direktur Pendidikan Agama Islam (PAI) Amin Haedari. “Kalau di Jabar itu dipilih karena semangat pertumbuhan mempelajari Islamnya tinggi sekali, Jateng terdapat banyak kekerasan, Sumut itu pemeluk Islam dibanding agama lainnya fifty-fifty dan di Sulut itu karena Islam di sana minoritas,” kata Amin.
Sejumlah guru telah disiapkan untuk menerapkan modul pembelajaran Islam damai ini. Sebelumnya, pada bulan Desember 2014, 30 orang guru PAI terpilih  dari 405 orang calon dari berbagai wilayah di Indonesia telah dikirim ke Religious Education, Oxford University, UK. Dari Oxford ini, para guru dikabarkan mendapatkan cara untuk mengajarkan pelajaran agama dengan cara menyenangkan, interaktif, dan berlangsung secara dua arah.
Multikulturalisme sebagai inti
Semakin banyaknya kaum muslimin yang mulai menyadari bahaya Pluralisme, telah membuat kelompok Liberal berupaya untuk mengganti peluru yang akan diarahkan kepada Islam dan kaum muslimin dalam upaya melakukan penyesatan. Apalagi Majelis Ulama Indonesia pada tahun 2005 telah memfatwakan haramnya faham pluralisme, dan faham ini juga telah ditolak oleh ormas-ormas Islam. Maka faham pluralisme telah berganti baju menjadi multikulturalisme.
Faham pluralisme yang mereka opinikan sebagai hal yang sifatnya sunatullah merupakan pemelintiran terhadap istilah pluralitas. Pluralitas (kemajemukan) memang merupakan suatu fakta di tengah masyarakat dan sunatullah, namun istilah pluralisme yang diusung kelompok liberal telah mengandung makna filosofi tertentu dalam memandang realitas plural yang ada, yaitu mengarah pada kemajemukan agama yang ada di tengah masyarakat, maka dikenal dengan istilah pluralisme agama. Di sinilah masalah mulai muncul tatkala dalam faham pluralisme ini difahamkan bahwa semua agama adalah benar  Karena diopinikan semua agama benar, sekali pun itu agama ardhi, maka seseorang boleh saja berpindah agama kapan pun dan kepada agama manapun, dengan alasan apapun.
Pemahaman ini tentu saja sangat bertentangan dengan Islam, karena hanya Islam sebagai agama yang benar(Qs. Ali-Imran [3]: 19), agama selain Islam adalah tidak benar dan tidak diterima oleh Allah SWT (Qs. Ali-Imran [3]: 85). Dengan faham pluralisme agama, telah menyamakan kebenaran Islam dengan agama lain termasuk dengan agama ardhi. Tentu saja hal ini akan mereduksi pemahaman dan keyakinan kaum muslimin, akan tauhid dan kekaaffahan Islam. Oleh karena itu menjadi tindakan yang sangat tepat manakala pada tahun 2005 Majelis Ulama Indonesia dan didukung ormas-ormas Islam telah memfatwakan keharaman faham pluralisme agama ini.
Pasca dirilisnya fatwa MUI ini, kelompok liberalis seolah tiarap sejenak, untuk mengolah akal agar tetap dapat menyusupkan faham-faham kufur ke tengah kaum muslimin dengan didukung Barat sebagai musuh Islam yang nyata. Hasilnya kelompok liberalis telah mengganti istilah pluralisme dengan istilah multikulturalisme. Bukan tanpa alasan Barat terlibat dalam proyek penyesatan ini, salah satu buktinya short course 30 orang guru yang disiapkan sebagai ujung tombak pengajar modul Islam damai ini, dilakukan di Oxford University, Inggris. Short course itu sendiri terlaksana atas kerjasama Kemenag dengan ACDP (Analytical and Capacity Development Partnership) suatu organisasi nirlaba yag dibiayai oleh negara-negara Eropa.
Penulis dan pemikir Islam Adian Husaini mengatakan inti dan substansi dari multikulturalisme adalah kesediaan menerima kelompok lain secara sama sebagai satu kesatuan. Tanpa membedakan perbedaan budaya, etnik, gender, bahasa bahkan agama. (Hidayatullah.com)
Lebih lanjut Adian menjelaskan bahaya pendidikan berwawasan multikulturalisme ini, bahwa multikulturalisme mendorong seorang muslim untuk melepas wawasan keimanannya. Muslim dijerat untuk berfikir bahwa tiada beda antara tauhid dan syirik. Agama diletakan dalam ranah pribadi. Di ranah publik, semua harus diperlakukan sama. Jangan peduli apakah agama atau budaya itu sesat atau bejat. Negara tidak berurusan dengan kesesatan dann kebenaran. Negara harus netral.
Pluralisme yang telah berganti baju menjadi multikulturalisme inilah yang menjadi inti ajaran agama Islam dalam modul Islam Damai yang baru-baru ini diluncurkan Kemenag. Mengingat bahayanya faham pluralisme,maka demikian pula dengan multikulturalisme, sama bahayanya. Hal inilah yang akan mereduksi pelajar muslim dalam memahami Islam yang lurus, bahkan wawasan keimanan para pelajar muslim akan sangat terancam.
Penyesatan, pemelintiran dan pembaratan
Multikulturalisme secara inti dan substansial setali tiga uang dengan pluralisme, alias sama saja. Dalam modul Islam damai ini pula telah dipelintir makna rahmatan lil ‘alamin. Makna rahmatan lil ‘alamin versi modul Islam damai cenderung mengarah pada toleransi yang kebablasan karena berujung pada penyeragaman semua agama dan merelatifkan kebenaran. Padahal makna rahmatan lil ‘alamin menunjukkan bahwa Islam adalah kebaikan dan mashlahat untuk masyarakat pada setiap masa di seluruh wilayah di dunia muslim maupun non muslim.Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin hanya akan mewujud jika Islam diterapkan secara menyeluruh dan sempurna.
Dijelaskan dalam tafsir Fathul Qadiir maksud  firman Allah SWT :
Dan tiadalah Kami mengutus kamu (Muhammad), melainkan untuk menjadi rahmat bagi semesta alam” (QS. Al Anbiya : 107)
Yaitu tidaklah Kami mengutus Engkau wahai Muhammad dengan syariah dan hukum kecuali menjadi rahmat bagi seluruh manusia.   Dengan demikian Islamsebagai rahmatan  lil alamin akan terwujud dengan penerapan syariah Islam, bukan yang lain.
Fakta sejarah peradaban Islam yang membentang selama lebih dari 1400 tahun menjadi bukti nyata kemampuan Islam sebagai rahmatan lil’alamin. Sejarahwan terkemuka seperti Will Durant, dalamThe Story of Civilization, vol. XIII, mengakui kehebatan peradaban Islam. Ia menulis: “Para khalifah telah memberikan keamanan kepada manusia hingga batas yang luar biasa besarnya bagi kehidupan dan kerja keras mereka. Para khalifah itu juga telah menyediakan berbagai peluang untuk siapapun yang memerlukan dan memberikan kesejahteraan selama berabad-abad dalam wilayah yang sangat luas.Fenomena seperti itu belum pernah tercatat (dalam sejarah) setelah zaman mereka. Kegigihan dan kerja keras mereka menjadikan pendidikan tersebar luas, hingga berbagai ilmu, sastera, filsafat dan seni mengalami kemajuan luar biasa, yang menjadikan Asia Barat sebagai bagian dunia yang paling maju peradabannya selama lima abad.”
Maka sangat tidak mungkin mewujudkan Islam sebagai rahmat jika pemahaman Islam justeru didangkalkan, bahkan diterapkanpun tidak sama sekali seperti klaim kemenag dalam modul Islam damai.Klaim kemenang dalam modul Islam damai yang dikatakan berbasis rahmatan lil alamin justru memelintir makna rahmatan lil alamin itu sendiri.
Selain itu, melalui modul Islam damai juga telah dilakukan upaya pembaratan. Sebab 30 guru PAI yang berangkat ke Oxford tidah hanya sekedar diajari  cara mengajar, tetapi juga mereka diajak mengunjungi gereja-gereja, sekolah-sekolah agama  yang mereka kunjungi di Inggris  dan ditunjukkan juga kultur masyarakat barat, baik melalui museum-museum yang dikunjungi  maupun diperlihatkan secara nyata dalam kehidupan untuk menunjukkan ‘hebat’nya peradaban Barat.
Seperti yang terungkap dalam catatan perjalanan, salah seorang dari 30 guru PAI yang mengikuti short course ini, yang begitu sangat mengagumi ‘kerukunan antar ras, agama, dan  suku bangsa di Inggris baik penduduk asli dan imigran. Juga kekagumannya terhadap peradaban Barat. Tentu pembaratan yang dilakukan terhadap para guru ini akan ditularkan kepada para muridnya. Inilah racun bagi pendidik-pendidik  muslim yang akan menyebarkan racun nilai-nilai kufur Barat kepada siswa-siswa mereka.
Apa yang dimaksud dengan Islam Damai tidak lain adalah promosi  pemikiran kufur kapitalisme namun diangkat seolah-olah  tidak bertentangan dengan Islam sedemikian rupa, bahkan sebagian muslimmenganggap pemikiran-pemikiran tersebut adalah  bagian dari Islam, sebagaimana  demokrasi, pluralisme dll.
Di sisi lain, promosi Islam Damai ini juga  mencela pemikiran-pemikiran Islamtertentu dan menggambarkannya  sebagai tidak beradab dan ketinggalan jaman  dan harus dibuang jauh-jauh, seperti hukum  jihad, Hudud, poligami dan beberapa  aturan Islam  lainnya. Jelaslah bahwa  modul ini akan membentuk kepribadian muslim  yang tidak memiliki  rasa malu ketika  meninggalkan kewajiban agamanya  dan melakukan yang  dilarang agama (Haram). Maka modul ini akan menghancurkan kecintaan terhadap  Islam dan nilai-nilainya, juga melenyapkan ghirah  Islam sehingga seorang muslim tidak lagi membenci  kekufuran, dan ia tidak lagi  melakukan amar ma’ruf nahi munkar. Dengan ini, generasi Islam akan kehilangan imunitasnya untuk menolak semua unsur dari luar Islam. Tanpa imunitas ini, kekuatan perasaan dan intelektual yang dimiliki umat untuk menolak segala bentuk penjajahan  akan hilang.
Sangat penting disadari, penanaman Islam Damai ini adalah upaya sistematis untuk menjauhkan umat Islamdan generasinya dari aqidah dan syariah Islam.  Bahkan ini akan menjauhkan mereka dari kebangkitan Islam. Selain itu,  Islam Damai  atau Islam ‘rahmatan lil alamin’ telah berkampanye menentang kaum muslimin yang bersungguh-sungguh berjuang untuk membangun kembali negara Islam atau Khilafah Islamiyah.
Islam Memandang Pluralitas
Islam memandang bahwa pluralitas agama, keyakinan, dan budaya bukanlah ancaman atau penyebab dasar terjadinya konflik. Islam juga tidak memandang adanya klaim kebenaran (truth claim) dari agama dan keyakinan sebagai pemicu munculnya peperangan dan konflik. Oleh karena itu, Islam tidak berkehendak untuk menghapuskan truth claim masing-masing agama atau keyakinan ataupun berusaha menyeragamkan “pandangan tertentu” pada setiap agama, kelompok, maupun mazhab, seperti yang dilakukan oleh kelompok pluralis.
Perlakuan Islam terhadap keragaman budaya, agama, dan keyakinan bukan dengan cara menghapuskan truth claim atau menghancurkan faham agama-agama selain Islam, seperti gagasan kaum pluralis yang beraliran unity of transenden maupun global religion. Akan tetapi, Islam mengakui adanya pluralitas, dan memberikan perlindungan (proteksi) atas keragaman tersebut.
Ketika kekuasaan Islam telah membentang mulai dari Jazirah Arab, Syam, Afrika, Hindia, Balkan, dan Asia Tengah tidak ada penyeragaman warga negara maupun upaya-upaya untuk memberangus pluralitas. Padahal dengan wilayah seluas itu, daulah Islam memiliki keragaman budaya, pemikiran, keyakinan dan agama yang sangat kompleks. Akan tetapi, hingga Kekhilafahan terakhir tak ada satu pun pemerintahan Islam yang mewacanakan adanya keseragaman atau berusaha menghapuskan pluralitas agama, budaya, dan keyakinan. Bahkan penerapan syariah Islam saat itu berhasil menciptakan keadilan, kesetaraan, dan rasa aman bagi seluruh warga negara, baik muslim maupun non-muslim. Kita bisa berkaca dari sejarah Palestina. Sejak Umar bin al-Khaththab memasuki Palestina pada tahun 637 M, penduduk Palestina hidup damai, tenteram, tidak ada permusuhan dan pertikaian, meskipun mereka menganut tiga agama besar yang berbeda: Islamkristen dan Yahudi.
Keadaan ini sangat kontras dengan apa yang dilakukan oleh tentara Salib pada tahun 1099 Masehi. Ketikatentara Salib berhasil menaklukkan Palestina, kengerian, teror, dan pembantaian pun disebarkan hampir ke seluruh kota. Selama dua hari setelah penaklukkan, 40.000 kaum muslim dibantai. Pasukan Salib berjalan di jalan-jalan Palestina dengan menyeberangi lautan darah. Keadilan, persatuan, dan perdamaian tiga penganut agama besar yang diciptakan sejak tahun 637 oleh Umar bin al-Khaththab hancur berkeping-keping. Meskipun demikian, ketika Shalahuddin al-Ayyubi berhasil membebaskan kota Quds pada tahun 1187 Masehi, beliau tidak melakukan balas dendam dan kebiadaban serupa.
Inilah sebagian fakta sejarah yang menunjukkan bahwa penerapan syariah Islam dalam  Negara Khilafah tetap melindungi dan mentoleransi adanya keragaman dan kebhinekaan. Tidak ada penyeragaman; tidak ada pemberangusan terhadap pluralitas; tidak ada pemaksaan atas non-muslim untuk masuk Islam; dan tidak ada pengusiran terhadap non-muslim dari wilayah Kekhilafahan Islam. Yang terjadi justru perlindungan terhadap non-muslim. Lebih dari itu, pemerintah Islam dengan syariah Islamnya benar-benar telah mewujudkan keadilan.
Hakikat Pendidikan dalam Islam
Islam menjadikan aqidah Islam sebagai landasan kurikulum pendidikan. Sebab tujuan pendidikan Islam adalah untuk mewujudkan generasi pemimpin yang tentu saja memerlukan kurikulum yang berkualitas yang disusun berdasarkan Islam. Berbeda dengan kurikulum pendidikan yang saat ini cenderung disusun berdasarkan kebutuhan pasar atas dasar pemahaman kapitalisme sekuler.
Materi dan metode pendidikan didesain sedemikian rupa yang mengarah pada pembentukan peserta didik memahami dan meyakini keberadaan Allah swt dengan sifat uluhiyahnya merupakan realitas. Kesadaran ini diwujudkan dengan memandang keridhoan Allah swt sebagai kebahagiaan tertinggi dan keterikatan pada syariat Allah adalah mutlak. Peserta didik memandang bahwa hanya Islam sebagai sistem kehidupan yang layak bagi manusia. Di atas prinsip inilah akhlaq mulia benar-benar menghiasi segenap aktivitas para peserta didik.
Secara historis telah terbuktikan bahwa sistem pendidikan yang pernah dilakukan pada masa khilafah telah mampu membentuk generasi pemimpin yang telah menjadi pelopor di segala bidang kehidupan. Mulai dari pemerintahan, sains dan teknologi, milier hingga ekonomi. Keberhasilan ini telah diakui dunia.
Di samping itu dalam sistempendidikan Islam semua pelajaran akan mampu menghasilkan individu muslim dengan iman yang kuat dan pemahaman Islam  yang mendalam lagi jelas  yang mampu  membedakannya dari pemahaman tentang kufur. Pendidikan Islam juga mampu menghasilkan pribadi-pribadi yang  menolak segala bentuk ketidakadilan, penindasan dan imperialisme. Karena itu saat  ini yang kita butuhkan adalah adanya sistem pendidikan Islam di bawah naungan Khilafah. Bukan arahan kurikulum yang didasarkan pada peradaban sekuler Kapitalistik yang justru  menghambat berdirinya kembali Khilafah, menghambat diterapkannya sistem Islam secara menyeluruh dan sempurna.
Penutup
Modul Islam damai yang berintikan multikulturalisme telah mereduksi Islam sebagai agama yang benar, maka upaya pemerintah dalm hal ini Kemenag harus dihentikan. Modul Islam damai akan merusak generasi baru kaum muslimin ke arah generasi yang lemah terhadap mafhum Islam yang lurus, dan pada saat yang sama begitu toleran pada agama lain sehingga akan sangat permisif terhadap ide lain di luar Islam, termasuk upaya pembebekan terhadap Barat. Akibatnya tidak akan ada lagi semangat amar ma’ruf nahyi mungkar,dan akan merasa cukup dengan pelaksanaan ajaran Islam yang seadanya. Tentu saja hal ini akan menjauhkan kaum muslimin dari upaya penerapan Islam secara kaaffah dalam bingkai Khilafah Islamiyah. Wallahu’alam.[]Oleh : Hera Anggarawaty (Penulis & Pemerhati Masalah Pendidikan dan Dunia Islam)
Dimuat 4 Desember 2015 di http://detikislam.com/sorot/modul-islam-damai-kebijakan-atau-penyesatan/