Jumat, 30 Oktober 2015

Kabut Asap, Mengapa Terus Berulang?

Muslimdaily.net – Musibah kabut asap seolah menjadi musibah langganan untuk wilayah Sumatera dan Kalimantan, bahkan cakupan kabut asap tahun 2015 ini paling luas; meliputi wilayah di 12 provinsi, dengan luas jutaan kilometer persegi. Kabut asap pekat terutama menyelimuti wilayah Sumatera Selatan, Jambi, Riau, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan. Di Sumatera, kabut asap menyelimuti 80 persen wilayahnya (Kompas, 5/9).
Nilai kerugian akibat bencana asap pada tahun 2015 belum bisa dihitung. Namun,Menurut Kepala BNPB Willem Rampangilei, kerugian akibat kebakaran lahan dan hutan serta bencana asap di Riau tahun 2014 lalu, berdasarkan kajian Bank Dunia, mencapai Rp 20 triliun.
Bencana kabut asap juga telah menyebabkan bencana kesehatan massal. Sebanyak 25,6 juta jiwa terpapar asap, yaitu 22,6 juta jiwa di Sumatera dan 3 juta jiwa di Kalimantan. Puluhan ribu orang menderita sakit. Hingga 28/9, di Riau saja tercatat 44.871 jiwa terjangkit Infeksi Saluran Pernapasan Akut/ISPA (Riau Online, 28/9). Jumlah itu masih mungkin akan bertambah. Jumlah itu belum ditambah total puluhan ribu kasus ISPA di Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Tengah dan daerah lainnya.
Sebagian musibah yang ditimpakan oleh Allah SWT terhadap manusia adalah akibat perbuatan manusia sendiri, termasuk bencana kabut asap. Musibah tersebut seharusnya menyadarkan manusia akan kesalahan mereka sehingga mereka segera kembali ke jalan yang benar.”Telah tampak kerusakan di daratan dan di lautan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah menimpakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar) (TQS ar-Rum [30]: 41).
Penyebab kebakaran di Indonsesia sudah banyak dikaji oleh para peneliti berbagai belahan dunia. Semua berkesimpulan bahwa ulah manusialah penyebab utama kebakaran hutan dan lahan. Pengelolaan lahan yang masih menjadikan api sebagai alat yang murah, mudah dan cepat menjadi inti dari penyebab kebakaran.
Kebakaran lahan dan hutan yang cukup dahsyat sudah terjadi setidaknya sejak 1967. Sejak itu kebakaran lahan dan hutan terus berulang tiap tahun. Semua ini menunjukkan tiga hal. Pertama: Penindakan terhadap para pelaku selama ini begitu lemah. Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho mengatakan, karena adanya pembiaran dan penegakan hukum yang lemah, pelanggaran terus terjadi (Kompas.com, 14/9). Kedua: Seolah tak pernah ada upaya Pemerintah untuk mengambil pelajaran. Padahal dengan belajar dari kasus-kasus sebelumnya, seharusnya kebakaran lahan dan hutan sudah bisa dicegah semaksimal mungkin oleh Pemerintah. Ketiga: Kebijakan/aturan tak memadai dan tak konsisten dijalankan sehingga tak bisa mencegah dan mengakhiri kebakaran lahan dan hutan. Masih banyak celah hukum sehingga para pelaku bisa lolos dari jerat hukum.
Bencana akibat kebakaran lahan dan hutan sangat sulit atau bahkan mustahil diakhiri dalam sistem kapitalis saat ini. Sebab, demi kepentingan ekonomi, jutaan hektar hutan dan lahan diberikan konsesinya kepada swasta. Padahal itulah yang menjadi salah satu akar masalahnya.
Bencana kebakaran hutan dan lahan hanya akan bisa diakhiri secara tuntas dengan sistem Islam melalui dua pendekatan: pendekatan tasyrî’i (hukum) dan ijrâ’i (praktis).
Secara tasyrî’i, Islam menetapkan bahwa hutan termasuk dalam kepemilikan umum (milik seluruh rakyat). Rasul saw. bersabda:’Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air dan api (HR Abu Dawud dan Ahmad).
Sebagai milik umum, hutan haram dikonsesikan kepada swasta baik individu maupun perusahaan. Dengan ketentuan ini, akar masalah kasus kebakaran hutan dan lahan bisa dihilangkan. Dengan begitu kebakaran hutan dan lahan bisa dicegah sepenuhnya sejak awal.
Pengelolaan hutan sebagai milik umum harus dilakukan oleh negara untuk kemaslahatan rakyat, tentu harus secara lestari. Maka mudah menyeimbangkan antara kepentingan ekonomi, kepentingan rakyat dan kelestarian hutan. Negara juga harus mendidik dan membangun kesadaran masyarakat untuk mewujudkan kelestarian hutan dan manfaatnya untuk generasi demi generasi.
Jika ternyata masih terjadi kebakaran hutan dan lahan, maka wajib segera ditangani oleh Pemerintah karena Pemerintah wajib memperhatikan urusan rakyatnya dan memelihara kemaslahatan mereka. Pemerintah akan dimintai pertanggungjawaban atas hal itu di dunia maupun diakhirat.
Adapun secara ijrâ’i, Pemerintah harus melakukan langkah-langkah, manajemen dan kebijakan tertentu; dengan menggunakan iptek mutakhir serta dengan memberdayakan para ahli dan masyarakat umum dalam melakukan pencegahan dan penanggulangan dampak kebakaran yang terjadi.
Mengakhiri kebakaran hutan dan lahan secara tuntas hanya bisa diwujudkan dengan penerapan syariah Islam secara menyeluruh. Hal itu hanya bisa diwujudkan melalui penerapan syariah Islam dalam sistem Khilafah Rasyidah yang mengikuti manhaj kenabian. Inilah yang harus sesegera mungkin diwujudkan oleh seluruh kaum Muslim negeri ini. Dengan itu berbagai bencana akibat ulah manusia, termasuk bencana kabut asap, bisa diakhiri. Pada akhirnya, masyarakat akan bisa merasakan hidup tenang tanpa merasa khawatir terhadap bencana yang berulang yang disebabkan oleh ulah manusia. Wallahu a’lam bi ash-shawâb. []
dimuat di : muslimdaily, 11 oktober 2015
http://www.muslimdaily.net/opini/kabut-asap-mengapa-terus-berulang.html 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar