Selasa, 05 Juni 2012

Soal Pornografi, Kenapa Tak "Melirik" Islam? *

Dimuat di http://www.hidayatullah.com/    Jumat,17 Maret 2006

Kalau saja, para artis, seniman, dan kalangan yang selalu berdalih bahwa defenisi pornografi dan pornoaksi 'tak jelas' sedikit saja mau melirik 'konsep Islam', mungkin, masalah tak serumit ini

*Oleh: Hera Anggarawaty *)*

Menjelang saat pengesahannya oleh DPR RI yang direncanakan akan dilakukan pada bulan Juni 2006 besok, tidak dapat dipungkiri, pro-kontra RUU Anti pornografi dan pornoaksi (RUU APP) kian memanas saja.

Sebagaimana diketahui, kasus tindak pornografi dan pornoaksi memang sudah berlangsung sejak lama. Selama tahun 1956-1971 saja dalam catatan detik.com setidaknya terdapat 10 orang penanggungjawab media terkena hukuman karena menyiarkan materi seks.

Meski pasca tahun 1971 tidak ada lagi penanggungjawab media yang diajukan ke pengadilan, bukan karena disebabkan adanya perubahan pandangan terhadap nilai kesusilaan, akan tetapi lebih karena pasca era 1970 jika terdapat media yang menyiarkan pornografi diancam dengan teguran keras sampai dicabutnya SIUPP oleh Departemen Penerangan.

Dengan kebijakan ini majalah Jakarta-Jakarta sekitar tahun 1987 dan Popular pada tahun 1991 pernah diberi teguran tertulis secara keras dari Deppen.

Tahun 1984 pengadilan telah memutuskan Dewi Anggraini Kusuma dijatuhi hukuman penjara 3 bulan karena kasus kalender bugil, yang setelah melakukan proses banding, mendapatkan grasi dari presiden berupa keringanan hukuman pidana bersyarat selama 14 hari. Pada Juni 2000 Pengadilan Negeri Jakarta memvonis tokoh teater Nano Riantiarno hukuman selama 5 bulan penjara. Vonis dijatuhkan karena majalah Matra  yang dipimpinnya memuat materi yang dinilai asusila. (detik.com.19/1/2006)

Kasus terbaru tentang tindak pornografi dan pornoaksi ini adalah kasus goyang ngebor Inul Daratista, foto telanjang Anjasmara dan fotomodel Isabel Yahya dalam pameran CP Bienalle 2005. Januari 2006 lalu juga heboh dengan munculnya aksi nudis 2 gadis Bali di internet (detik.com 17/1/2006).

Apakah sesudah itu tayangan pornografi dan pornoaksi berhenti? Tidak juga. Masih banyak kasus yang lain yang terjadi dan tidak tersentuh hukum. Selain Deppen sudah tidak ada, hukum yang ada tidak mampu menjerat tindak pornografi dan pornoaksi. Penyebab yang lainnya adalah karena ketiadaan definisi yang jelas tentang pornografi dan pornoaksi.

Kalangan seniman dan budayawan cenderung memandang pornografi sebagai seni, yang tidak boleh dicampuri oleh agama. Sebagaimana diketahui, seni sekuler (maksudnya yang lahir dari Barat) mengembangkan logika, bahwa seni adalah seni yang punya nilai sendiri, dan agama adalah agama yang harus tahu batas-batasnya. Jika seni dimasuki nilai agama maka hancurlah kesenian. (hidayatulah.com 5-10-2005). Dan umumnya, para pengusung liberalisme yang berlindung dibalik HAM memandang larangan terhadap pornografi hanyalah akan mengekang kebebasan berekspresi.

Dengan berlindung pada definisi kabur tentang pornografi dan pornoaksi ataupun berlindung dibalik "art", tindak pornografi dan pornoaksi malah semakin marak dan telah sampai pada taraf meresahkan masyarakat.

Buktinya, begitu maraknya tayangan-tayangan yang mengumbar aurat baik media elektronik maupun cetak. Seperti dalam sinetron, film, tayangan tengah malam, VCD, DVD, internet bahkan penyebaran via ponsel. Belum lagi kemudahan untuk mendapatkan media syur menambah parahnya kondisi moral bangsa ini. Cukup dengan 1000 rupiah, tabloid syur dapat dibeli di lapak-lapak pinggir jalan oleh siapa saja dan kapan saja.(detik.com). Dengan sangat menyedihkan, pornografi seolah telah menyatu menjadi perilaku masyarakat, maka tidak mengherankan jika Indonesia ditempatkan sebagai surga pornografi kedua setelah Rusia berdasarkan hasil riset kantor berita AP. (Republika, 17/07/2003).

Oleh karena itu pihak yang mendukung dilarangnya tindak pornografi dan pornoaksi dan cenderung mendukung disahkannya RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi (APP), menilai tindak pornografi dan pornoaksi telah semakin merajalela dan dampaknya sudah sangat meresahkan dan sangat berbahaya
bagi keselamatan generasi mendatang.

Penelitian yang dilakukan Pusat Studi Hukum Universitas Islam Indonesia menyebutkan sekitar 15 persen dari 202 responden remaja berumur 15 - 25 tahun sudah melakukan hubungan seks, karena terpengaruh oleh tayangan pornografi melalui internet, VCD, TV dan bacaan pornografi. Dari penelitian tersebut juga terungkap 93,5 persen remaja telah menyaksikan VCD porno dengan alasan sekadar ingin tahu 69,6 persen dan alasan lain hanya 18,9 persen.(Suara Merdeka, 29 November 2003).

Seolah menutup mata terhadap akibat yang ditimbulkan, para artis, seniman, budayawan, para pengusung Liberalisme, sebagai kalangan yang kontra terhadap RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi (RUU APP), mereka beramai-ramai menentang upaya pemerintah yang hendak memberantas tindak pornografi dan pornoaksi ini. Sementara berbagai pihak yang merasa gerah dengan aksi pornografi dan pornoaksi yang telah terjadi selama ini juga berupaya kuat untuk mendukung upaya pemerintah. Maka pro dan kontra terhadap permasalahan pornografi dan pornoaksi dan rencana disahkannya RUU APP tidak dapat dihindari.
*
Mengapa pro dan kontra?*

Indonesia yang berpenduduk mayoritas Muslim semestinya memiliki satu suara dalam memandang permasalahan pornografi dan pornoaksi, yaitu mendukung diterapkannya aturan tentang larangan pornografi dan pornoaksi. Akan tetapi dengan berbagai alasan, walaupun mereka muslim tetap saja ada yang menolak diterapkannya larangan tentang pornografi dan pornoaksi.

Hal ini terjadi karena cengkraman sistem Kapitalisme yang diterapkan di Indonesia yang menganut ide kebebasan, telah menjadikan masalah pornoaksi dan pornografi adalah hal yang wajar saja dilakukan, dengan alasan kebebasan berekspresi. Oleh karena itu seni dalam kapitalisme dianggap bebas nilai, sehingga menafikan agama. Maka pendapat para pengusung liberalisme dan kaum seniman (yang sekuler) dalam memandang persoalan pornografi dan pornoaksi cenderung setali tiga uang, hatta, mereka mengaku seorang Muslim.

Pemerintah sendiri memandang tindak pornografi dan pornoaksi yang tengah terjadi sudah tidak dapat ditolerir lagi dan berupaya untuk menghentikannya. Seperti yang dikatakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang menegaskan, bahwa kegiatan pornografi dan pornoaksi yang sekarang terjadi di masyarakat tidak bisa ditoleransi lagi. Hal ini dikatakan ketika Presiden menerima Menpora Adhyaksa Dault bersama Menneg Pemberdayaan Perempuan (PP) Meutia Hatta di Kantor Kepresidenan Jakarta,
Senin (28/3). (PR, 29 Maret 2005 )

Pemerintah menganggap telah melakukan usaha maksimum, termasuk penandatanganan nota kesepahaman (memorandum of understanding-MoU) pemberantasan dan penanggulangan pornografi dan pornoaksi, yang ditandatangani oleh dua instansi yang dipimpin Menpora dan Menneg Pemberdayaan Perempuan pada April 2005. MoU ini dibuat sambil menunggu diberlakukannya RUU APP, sekaligus memacunya agar segera  menandatangani.

Upaya pemerintah dalam membuat RUU APP ini memang didukung oleh pihak yang mendukung pemberantasan terhadap pornografi dan pornoaksi. Akan tetapi baik pihak yang pro maupun yang kontra terhadap RUU APP, keduanya masih memandang adanya pasal-pasal karet dan kekaburan definisi dan tentu saja dengan alasan yang berbeda. Pihak yang kontra terhadap RUU APP memandang pasal-pasal RUU APP akan menghalangi kebebasan berekspresi, menghancurkan industri pariwisata dan hiburan, menghancurkan adat istiadat sebagian bangsa Indonesia, dll. Bahkan Kepala Pusat Studi Andrologi dan Seksologi Universitas Udayana dr. Wimpie Pangkahila menyebut RUU APP akan menjadikan bangsa Indonesia terbelakang (detik.com, 11-3-2006)

Adapun pasal-pasal yang pengertiannya masih kabur menurut pihak yang pro terhadap RUU APP ini, justeru masih memungkinkan lolosnya beberapa tindakan pornografi dan pornoaksi. Namun, walaupun RUU APP ini merupakan salah satu upaya pemberantasn tindak pornografi dan pornoaksi, sampai kini permasalahan pornografi dan pornoaksi masih belum terselesaikan. Sebab, yang terjadi hanyalah 'tiarap sementara' sambil menanti hasil akhir penggodokan RUU APP. Tidak menutup kemungkinan jika RUU APP "berhasil" dikompromikan antara yang pro dan kontra, tindak pornografi dan pornoaksi akan kembali marak.

Seperti yang diberitakan detik.com (12-3-2006), dari rencana 11 Bab 93 Pasal, RUU APP kini telah menyusut menjadi 8 Bab 82 pasal setelah dilakukan kesepakatan draft kedua. Jadi sekitar 11 pasal telah dihapus, antara lain yang berkaitan tentang ciuman dan pakaian.

Berkaitan dengan definisi, dalam RUU APP draft pertama dalam Bab1 Pasal 1 dan 2 berbunyi: pornografi adalah substansi dalam media atau alat komunikasi yang dibuat untuk menyampaikan gagasan-gagasan yang mengeksploitasi seksual, kecabulan, dan/atau erotika. Pornoaksi adalah perbuatan mengeksploitasi seksual, kecabulan, dan/atau erotika di muka umum.

Tetapi dalam RUU APP draft kedua Pansus menyepakati definisi pornografi dikembalikan kepada definisi Yunani. Draft kedua berbunyi, pornografi berasal dari bahasa Yunani, porne yang artinya pelacur, dan graphein yang artinya gambar atau tulisan. Sedangkan pornoaksi adalah pornografi yang dijual kepada masyarakat (detik.com 12-3-2006). Draft kedua ini telah disetujui oleh 8 dari 10 fraksi di DPR (PDS belum memberikan suaranya karena izin dan PDIP masih konsultasi dengan Ketua Umum PDIP).

Dengan definisi yang ada di draft yang pertama saja masih kabur, apalagi dengan definisi di draft yang kedua yang justeru semakin tidak jelas, tentunya tidak akan mampu mengkategorikan setiap tindak pornografi dan pornoaksi yang selama ini beredar di tengah masyarakat. Akibatnya akan banyak sekali kasus pornografi dan pornoaksi yang tidak terjerat hukum.

Ini baru berbicara tentang masalah definisi apalagi jika setiap pasalnya diteliti, misalnya pasal-pasal tentang berciuman dan pakaian. Tidak dijelaskan pasal mana saja yang berkaitan tentang berciuman dan pakaian yang dihapus. Pada draft pertama, pasal tentang berciuman dan pakaian ini sudah kabur, apalagi setelah dihapuskan semuanya di draft kedua. Tentunya masyarakat akan semakin seenaknya mengenakan pakaian, tidak peduli pakaiannya tersebut mampu menutupi tubuhnya atau tidak.
*
Mengapa Tak Mencoba Islam? *

Seaindainya saja para kaum sekuler mau sedikit 'melirik' (soalnya, draf RUU APP itu belum apa-apa sudah dituduh berbau Arab oleh Gunawan Mohammad), maka, seharusnya masalah tidaklah seribut ini. Juga tidak membingungkan. Bukan apa-apa, sebab Islam, kalau hanya menyangkut persoalan seperti ini, punya batasan yang jelas. Utamanya dalam memberikan penyelesaian.

Sebagaimana sudah dikutip juga oleh hidayatullah.com, dalam Islam dikenal batasan aurat. Dan itu, jauh lebih luas dan luqas, dibanding cuma defenisi batasan apa itu pornografi dan pornoaksi, yang selalu menjadi 'mesiu' kalangan seminan bermain kata-kata.

Dalam Islam, batasan aurat jelas. Aurat wanita adalah seluruh tubuhnya kecuali wajah dan kedua telapak tangan, sebagaimana yang dijelaskan dalam Al-Qur'an.

Allah berfirman," Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung". (TQS.AnNur (24) : 31

Bagian tubuh "yang biasa tampak" yang disebutkan dalam Al Qur'an diperjelas dalam hadist yang diriwayatkan oleh 'Aisyah ra ketika saudarinya Asma masuk ke rumah 'Aisyah ra dengan mengenakan pakaian tipis. Rasulullah SAW berkata,"Wahai Asma, sesungguhnya wanita yang telah haid tidak boleh nampak darinya kecuali ini dan ini (Rasul saw berkata seraya menunjuk wajah dan telapak tangannya).

Melihat batasan aurat dalam Al Qur'an dan hadits tersebut, maka batasan aurat wanita dalam Islam adalah seluruh tubuhnya kecuali wajah dan kedua telapak tangan. Oleh karena itu di dalam Islam jika seseorang menampakkan bagian tubuh yang lain selain wajah dan kedua telapak tangan, maka hal itu sudah termasuk pornografi.

Demikian juga dengan aurat laki-laki, dalam Islam juga sudah diberi batasan yang jelas, yaitu dari pusar sampai lutut. Oleh karena itu jika ada seorang laki-laki yang menampakkan anggota tubuhnya dari pusar sampai lutut, maka sudah terkategori pornografi. Dalam hadits disebutkan,"Aurat seorang mukmin adalah antara pusar dan lututnya."(HR.Baihaqi).

Maka defenisi pornografi, jika memakai defenisi Islam, adalah produk grafis (tulisan, gambar, film) --baik dalam bentuk majalah, tabloid, VCD, film-film atau acara-acara di TV, situs-situs di internet, bacaan-bacaan lainnya-- yang mengumbar sekaligus menjual aurat. Artinya, aurat menjadi titik pusat perhatian. Sedangkan pornoaksi adalah sebuah perbuatan memamerkan aurat yang digelar dan ditonton secara langsung; dari mulai aksi yang "biasa-biasa" saja seperti aksi para artis di panggung-panggung hiburan umum hingga yang luar biasa dan atraktif seperti tarian telanjang atau setengah telanjang di tempat-tempat hiburan khusus (diskotek-diskotek, klab-klab malam, dll). (Al Islam edisi 164, 30 Juli 2003).

Penting untuk ditegaskan bahwa, dalam konteks pornografi dan pornoaksi yang mengumbar aurat ini, yang dimaksud adalah aurat menurut syariat Islam. Jika memakai defenisi saja, penulis yakin tak akan ada perdebatan. Karena itu, jika RUU APP ini ditudahkan berbau Islam, penulis merasa justru tidak. Sebab kenyataannya, masih banyak yang ditolelir.

Namun dalam aturan Islam seperti ini, permasalahan pornografi dan pornoaksi hanya akan terlaksana dan mampu menyelesaikan permasalahan jika diterapkan dengan tiga pilar, yaitu individu yang bertakwa,
masyarakat, dan negara. Negara sebagai lembaga penaung yang berhak menerapkan aturan, sedangkan individu dan masyarakat, sebagai pengontrol tegaknya aturan di tengah-tengah mereka. Sebagaimana yang disebutkan dalam hadist,"Siapa saja yang melihat kemungkaran, hendaklah ia mengubah dengan tangan (kekuasaan)-nya; jika tidak mampu, dengan lisannya; jika tidak mampu, dengan kalbunya. Namun, itulah selemah-lemah iman". (HR Muslim).

Masalahnya, para pengambil kebijakan, kaum artis dan seniman, yang merasa paling getol menolak RUU APP ini mendengar suara hatinya. Yang di situ ada nasib anak-anak dan keluarganya, yang kelak akan menjadi incaran hewan menakutkan bernama 'pornografi'. Yang justru merisaukan, belum apa-apa, mereka justru menuduh RUU ini 'berbau Islam', dan menuduh pula kelak dikhawatirkan mematinya seni. Atau, jangan-jangan mereka bukan orang Muslim? Wallahu'alam.

**) Penulis lulusan Fak.Ilmu Komunikasi UNPAD, kini bekerja di Dep.
Biologi FMIPA-ITB*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar