Selasa, 05 Juni 2012

ISU KDRT: Antara Fakta dan Propaganda

Dimuat di Majalah al Waie, no.66 , Pebruari 2006.


Oleh: H. Anggarawaty
(Aktivis Hizbut Tahrir Indonesia)



Ada ungkapan yang mengatakan,"Bila di luar rumah banyak penjahat yang senantiasa mengancam kenyamanan dan keamananan kita, di rumah malah jauh lebih tidak aman." Alasannya, kejahatan di luar rumah lebih mudah untuk dideteksi, sedangkan kejahatan di dalam rumah-berupa tindak kekerasan-saat ini sulit dideteksi penegak hukum. Masalahnya, selain terlindung oleh pernikahan sebagai lembaga pengikat, Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) juga masih tertutup dan selalu dianggap sebagai masalah domestik.

Ungkapan di atas sering didengungkan oleh para aktivis feminis yang menganggap bahwa perempuan merupakan korban pertama pelanggaran HAM-sebagai korban KDRT-sekalipun di tempat yang dianggap paling aman, yakni dalam keluarga.

Badan Kesehatan Dunia (WHO) bekerjasama dengan Sekolah Kesehatan dan Kedokteran Tropis London, dan PATH-suatu organisasi kesehatan dunia-telah melakukan studi tentang kesehatan perempuan dan kekerasan rumah tangga terhadap perempuan yang dirilis pada tanggal 30 November 2005. Peneliti mewawancarai 24.000 perempuan di 15 lokasi di sepuluh negara yang dianggap mewakili, yaitu Banglades, Brazil, Etiopia, Jepang, Namibia, Peru, Samoa, Serbia dan Montenegro, Republik Tanzania dan Thailand. (www.who.int/en). Mereka menemukan seperempat sampai separuh dari para wanita tersebut telah menjadi korban kekerasan secara fisik oleh pasangan mereka. Perempuan yang menjadi korban kekerasan kemungkinan besar berpeluang dua kali lipat untuk mempunyai masalah kesehatan fisik dan mental yang lemah dibandingkan dengan perempuan yang bukan korban kekerasan, sekalipun kekerasan tersebut banyak terjadi tahun yang lalu. Satu dari sebelas korban kekerasan oleh pasangannya mengatakan bahwa mereka telah mencoba bunuh diri.

Disebutkan pula, berdasarkan studi di banyak negara, 4-12% wanita hamil dilaporkan dipukul selama kehamilan, Lebih dari separuh wanita hamil ini telah ditendang perutnya. Para wanita yang melaporkan kekerasan fisik dan seksual yang dialaminya lebih sedikit daripada yang tidak melapor. Di Indonesia, menurut catatan Mitra Perempuan, hanya 15,2% perempuan yang mengalami KDRT menempuh jalur hukum, sedangkan mayoritas (45,2%) memutuskan pindah rumah dan 10,9% memilih diam. Sampai saat ini isu KDRT merupakan isu yang seolah tidak pernah berhenti untuk dipropagandakan. Apalagi ada anggapan mengenai belum efektifnya pemberlakuan UU KDRT No. 23 tahun 2004 yang telah ditetapkan setahun yang lalu. Padahal UU KDRT dianggap dapat menyelesaikan atau mengeliminasi kasus kekerasan yang kerap terjadi dalam rumah tangga. Namun, pada faktanya, angka kasus KDRT masih saja tinggi. Asisten Deputi Urusan Tindak Kekerasan Terhadap Perempuan Kantor Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan, dr. Heru Kasidir, MSc. mengatakan, kasus KDRT di Indonesia cukup tinggi kendati belum ada data kongkret tentang hal itu. Namun, Juni 2006 survei pendataan angka tindak kekerasan itu akan dilakukan dan bakal dimasukkan dalam data sosial-ekonomi, dan pada September 2006 baru ada hasilnya. (Republika, 19/12/2005).

Data statistik lengkap mengenai kasus KDRT di seluruh Indonesia memang belum tersedia. Namun, terdapat sejumlah informasi dari LSM dan organisasi perempuan, khususnya Women's Crisis Centre yang khusus menerima pengaduan dan membantu korban kasus KDRT, yang mengungkap fakta tersebut. Mitra Perempuan Women's Crisis Centre di Jakarta mengaku, selama periode 1997-2002 telah menerima pengaduan 879 kasus kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga yang terjadi di Jakarta, Bogor, Tangerang, Bekasi, dan sekitarnya. Pelaku kekerasan terbanyak dilakukan suami korban, yakni sebesar 69-74 persen. Rifka Annisa Women's Crisis Centre di Yogyakarta, selama 1994-2000, menerima pengaduan 994 kasus kekerasan terhadap istri oleh suami yang terjadi di Yogyakarta dan Jawa Tengah. Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan bahkan pernah mengatakan, 11,4 persen dari 217 juta penduduk Indonesia, atau sekitar 24 juta perempuan, terutama di pedesaan, mengaku pernah mengalami kekerasan, dan terbesar adalah domestic violence (kekerasan dalam rumah tangga). (http://www.bkkbn.go.id/article).

Kesulitan penanganan permasalahan KDRT sebenarnya wajar terjadi, karena terdapat ketidakjelasan dalam pendefinisian KDRT itu sendiri. Dalam UU No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) disebutkan, bahwa definisi Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis dan/atau penelantaran rumah tangga; termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.

Akan tetapi, Dra. VG Tinuk Istiarti M.Kes dari Pusat Studi Wanita/Gender Universitas Diponegoro menyebutkan, suatu kejadian dapat digolongkan KDRT jika ada pihak yang merasa dirugikan. Ia mencontohkan perlakuan sadisme yang terjadi dalam hubungan intim suami-istri. ''Meskipun hal tersebut tergolong KDRT, jika kedua belah pihak melakukannya dengan sadar dan tanpa keterpaksaan, ya tidak dapat dilaporkan ke polisi.''
 (http://www.suaramerdeka.com/cybernews/harian/0512/10/dar11.htm).

Bahkan kekerasan terhadap laki-laki (salah satu contohnya perang/konflik bersenjata lainnya) yang memungkinkan berdampak terhadap perempuan dapat dikategorikan sebagai kekerasan terhadap perempuan. (
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0011/29/iptek/memb25.htm).

Dengan ketidakjelasan definisi seperti ini, maka wajarlah jika penyelesaian hukum menjadi tidak jelas dan tidak tuntas.

Motif dan Aktor
Korban KDRT tidak selalu perempuan. Akan tetapi, pembicaraan mengenai KDRT sering mengarah pada anggapan umum bahwa korban hampir selalu perempuan, dan pelaku hampir selalu laki-laki. Padahal bisa saja hal itu terjadi sebaliknya, dalam arti, kekerasan dapat dilakukan baik oleh laki-laki maupun perempuan dan korbannya bisa laki-laki ataupun perempuan. Menurut Azis Hoesein, kekerasan terhadap perempuan bukanlah masalah yang terjadi di Indonesia saja, tetapi juga menjadi masalah perempuan di seluruh dunia. Untuk itu, masalah kekerasan terhadap perempuan merupakan salah satu dari 12 critical area of concern hasil pertemuan Konferensi Perempuan Sedunia ke-4 di Beijing tahun 1995.

Memang, latar belakang munculnya propaganda Isu KDRT sebenarnya tidak lepas dari motif kesetaraan jender yang selama ini dipropagandakan oleh kaum feminis, terutama dari negara-negara Barat yang menerapkan sistem kapitalis-sekular. Sebelum diberlakukannya UU No. 23/2004 tentang KDRT, Indonesia telah meratifkasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan atau Convention on the Elimination of All Forms of Descrimination against Women (CEDAW) sejak 21 tahun lalu, yakni melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984. Dalam memperjuangkan kesetaraan dan keadilan bagi perempuan, Konvensi CEDAW tidak berdiri sendiri, tetapi merupakan salah satu dari rangkaian konvensi yang saling berkaitan satu dengan yang lainnya. Konvensi yang dilakukan sesudahnya akan mempertajam arah dan tujuan yang telah ditetapkan pada konvensi sebelumnya.

Penasihat jender Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Sjamsiah Achmad mengatakan, Konvensi CEDAW yang dideklarasikan tahun 1979 didukung oleh kegiatan lain, seperti memiliki Kerangka Aksi (Platform for Action) Beijing 1995 dan Tujuan Pembangunan Milenium (Millenium Development Goals/MDG). Menurut Sjamsiah, MDG lahir dari Deklarasi Milenium, konsensus global oleh 189 negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 2000. Deklarasi Milenium menggarisbawahi kepentingan absolut untuk kemajuan HAM bagi semua orang. Untuk mencapai hal ini, pemajuan perempuan menuju kesetaraan jender diakui sebagai kebutuhan dasar. Deklarasi Milenium secara khusus juga bertekad memberantas semua bentuk kekerasan terhadap perempuan dan melaksanakan Konvensi CEDAW. Peran sentral kesetaraan jender juga menjadi fokus utama Deklarasi Milenium.
(Kompas, 30/7/2005).

Tampak jelas bahwa isu KDRT tidaklah sekadar permasalahan yang terjadi di tengah masyarakat. Lebih dari itu, ia merupakan propaganda yang dihembuskan oleh kaum feminis sebagai aktornya. Sementara itu, motif kesetaraan jender adalah esensi dari isu KDRT itu sendiri. Padahal tuntutan kesetaraan jender sebenarnya merupakan tuntutan para wanita Barat yang menerapkan sistem kapitalis-sekular.

Isu KDRT Menyerang Hukum Islam
Budaya patriarki dan agama sering menjadi target serangan isu KDRT. Sebab, budaya patriarki dan agama sering dianggap sebagai penyebab terjadinya KDRT, sekaligus sebagai penyebab tidak banyak terungkapnya kasus KDRT. Akibatnya, kasus KDRT seperti fenomena gunung es yang hanya menampakan puncaknya saja. "Hampir semua institusi sosial memakai nilai-nilai patriarki," tegas Julia Suryakusuma, "termasuk di dalamnya lembaga negara, hukum, pendidikan, agama, norma-norma, media massa, keluarga, dan tentunya militer. (www.kompas.com).


Lebih khusus lagi, isu KDRT telah menyerang hukum-hukum Islam, terutama yang berkaitan dengan aturan relasi antara laki-laki dan perempuan-misalnya aturan mengenai kepemimpinan laki-laki (suami) atas perempuan (istri); poligami; keharusan istri mengabulkan permintaan suami di tempat tidur; hak suami dalam mendidik istri dalam kasus nusyûz, yang membolehkan laki-laki memukul istri sebagai ta'dîb (mendidik); dan sebagainya.

Kaum feminis telah menganggap aturan tentang kepemimpinan laki-laki/suami atas perempuan/istri sebagai arogansi kekuasaan laki-laki atas perempuan. Poligami dan keharusan istri memenuhi permintaan suami di tempat tidur dianggap sebagai kekerasan seksual yang terjadi atas perempuan, bahkan dikatakan sebagai pemerkosaan dalam perkawinan (marital rape). Adapun kasus perlakukan suami terhadap istri yang melakukan nusyûz (pembangkangan terhadap suami) dianggap oleh kaum feminis sebagai kekerasan seksual sekaligus kekerasan fisik. Oleh karena itu, menurut kaum feminis, ayat-ayat tentang kepemimpinan (QS an-Nisa' [4]: 34), hadis Nabi saw. riwayat al-Bukhari tentang kepemimpinan Kisra, ayat tentang poligami (QS an-Nisa' [4]: 3), hadis Rasul tentang keharusan istri mengabulkan permintaan suami di tempat tidur dan laknat malaikat atasnya, juga ayat tentang nusyûz (QS an-Nisa' [4]: 34) adalah bias jender dan karenanya perlu direkonstruksi.

Tidak hanya itu, isu KDRT yang dihembuskan kaum feminis juga telah menjungkirbalikkan relasi suami-istri dalam rumah tangga. Kaum feminis berpendapat bahwa kepala keluarga/rumah tangga ditentukan oleh seberapa dominan salah satu pihak secara ekonomi. Kaum feminis memandang, dengan terbukanya peluang kerja bagi perempuan, maka perempuan mungkin untuk mencari nafkah. Oleh karena itu, pihak yang memiliki penghasilan lebih besar, dialah yang menjadi kepala keluarga.

Kaum feminis juga menganggap domestikasi perempuan sebagai salah satu bentuk kekerasan dalam rumah tangga. Sebab, domestikasi perempuan sebagai ibu pendidik generasi dan pengatur rumah tidak menghasilkan uang. Akibatnya, secara ekonomi perempuan akan senantiasa bergantung pada laki-laki, dan tidak memiliki posisi tawar jika diperlakukan seenaknya oleh laki-laki. Secara terpaksa perempuan akan menerima perlakuan seperti itu, karena khawatir kehilangan sumber ekonominya. Hal ini dipandang oleh kaum kapitalis sebagai salah satu penyebab tersubordinasinya perempuan. Oleh karena itu, kaum feminis mendorong perempuan untuk beraktivitas di sektor publik yang cenderung bernilai ekonomi. Dengan begitu, dengan kemampuan akses terhadap sumber ekonomi, perempuan akan mampu untuk memperjuangkan kesetaraan jender.

Walhasil, isu KDRT tidak semata-mata merupakan permasalahan yang terjadi di tengah masyarakat, tetapi telah menjadi alat kaum feminis untuk melegitimasi gagasan kesetaraan jender dan menyerang hukum-hukum Islam. Kaum feminis telah memandang sempit permasalahan kekerasan dalam rumah tangga hanya terfokus pada korban perempuan dan pelaku laki-laki. Padahal kekerasan bisa menimpa siapa saja dan pelakunya tidak hanya laki-laki. Wallâhu a'lam bi ash-shawâb.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar