Selasa, 05 Juni 2012

Di muat di  Harian Republika :

Rabu, 30 Oktober 2002
Julukan
Oleh : Hera Anggarawaty

Di awal penyebaran Islam, perjalanan dakwah Rasulullah saw menghadapi berbagai kendala. Pernah Rasulullah disiram kotoran binatang ketika tengah berdakwah kepada sekelompok orang di dekat Kakbah. Sementara itu, sumpah serapah yang didapati oleh Rasulullah sudah bukan hal yang aneh lagi. Tidak hanya kepada Rasulullah, hal yang sama dialami para pengikutnya. Tidak sekadar kata-kata, mereka menerima penganiayaan secara fisik.

Suatu ketika para pemimpin kaum kafir Quraisy berkumpul untuk mendiskusikan  julukan apa yang layak disandangkan kepada Rasulullah, agar orang-orang Madinah yang akan pergi berhaji ke Mekkah tidak terpengaruh oleh dakwah, masuk Islam. Ada yang mengusulkan agar Nabi Muhammad dijuluki sebagai dukun, namun tidak disepakati karena penampilan Nabi Muhammad tidak tampak sebagai seorang dukun. Yang lainnya mengusulkan agar Nabi Muhammad disebut orang gila saja karena apa yang disampaikan oleh Nabi Muhammad dianggap sebagai pemikiran yang ''gila'' bagi mereka karena telah mengacaukan tatanan
kehidupan mereka yang jahiliah. Julukan inipun tidak disepakati karena Muhammad tidak tampak seperti orang gila.

Mereka terus berpikir keras agar dapat memberi julukan yang tepat untuk Nabi Muhammad dalam rangka menghambat dakwah yang dilakukan beliau. Kemudian muncul usulan agar Nabi Muhammad digelari sebagai tukang sihir. Kembali, mereka kurang sepakat karena Nabi Muhammad tidak tampak sebagai tukang sihir. Saking bingungnya, walaupun dirasa masih belum tepat, mereka memutuskan untuk menjuluki Nabi Muhammad sebagai tukang sihir. Setelah sepakat, mereka kemudian mengampanyekan itu ke seluruh kabilah-kabilah yang datang ke Mekkah bahwa Muhammad adalah seorang tukang sihir yang harus dijauhi karena kata-kata yang diucapkannya akan menyihir mereka.

Dengan julukan itu kafir Quraisy berharap agar dakwah Rasulullah terhambat dan bahkan mati sama sekali. Akan tetapi, atas kehendak dan janji dari Allah SWT dakwah Islam bukannya mati, tetapi bersinar dengan lebih benderang. Pada masa berikutnya malah mampu menyinari hampir setengah dunia dan memunculkan
peradaban yang tinggi, sehingga muncul sebagai adidaya yang disegani.

Kini julukan negatif pun menimpa umat Islam. Sebut saja ekstremis, fundamentalis, bahkan teroris. Bukan tidak mungkin ini dimaksudkan untuk menghalangi dakwah Islam. Menghadapi ini kita tidak boleh gentar. ''Mareka berkehendak memadamkan cahaya [agama] Allah dengan mulut [ucapan-ucapan] mereka, dan Allah tidak menghendaki selain menyempurnakan cahaya-Nya, walaupun orang-orang kafir tidak menyukai. (QS At-Taubah: 32). Wallahu'alam.

Melacak Ideologi "Setan"

AGENDA TERSEMBUNYI DIBALIK WACANA HAK DAN KESEHATAN REPRODUKSI (Bagian pertama)

Dimuat di http://www.hidayatullah.com, 23 Desember 2005

Oleh : Hera Anggarawaty*
Pembicaraan seputar hak dan kesehatan reproduksi perempuan menjadi wacana yang cukup marak akhir-akhir ini, Diskusi ini, tentu tidak lepas dari perbincangan mengenai permasalahan yang sedang merebak akhir-akhir ini, yakni mengenai upaya legalisasi aborsi melalui rencana amandemen UU Kesehatan no.23/1992, karena oleh sebagian pihak, aborsi dianggap sebagai penyebab tingginya Angka Kematian Ibu (AKI).
Namun, pasal-pasal tentang praktik aborsi dalam draft RUU Kesehatan 2005 yang merupakan amandemen UU No 23/1992 tentang Kesehatan telah menjadi polemik, karena banyak juga pihak yang tidak setuju.
Oleh karena itu, pihak-pihak yang mendukung pelegalan aborsi telah melakukan berbagai upaya untuk mendapatkan dukungan masyarakat, di antaranya dengan cara mengekspos data hasil survei yang mendukung pentingnya aborsi legal, seperti data survei tentang penyebab tingginya Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia.
Isu mengenai hak dan kesehatan reproduksi perempuan kian marak, dan setiap propagandanya menggiring publik pada kesimpulan bahwa UU Kesehatan no.23/1992 harus diamandemen atas nama Hak-Hak dan Kesehatan Reproduksi Perempuan.

FAKTA TERKAIT
Dalam Konferensi Kependudukan dan Pembangunan (ICPD) sedunia th.1994 di Kairo, Kesehatan Reproduksi didefinisikan sebagai,”Keadaan sehat yang menyeluruh, meliputi aspek fisik, mental, dan sosial, dan bukan sekadar tidak adanya penyakit atau gangguan di segala hal yang berkaitan dengan sistem reproduksi, fungsi, maupun proses reproduksi itu sendiri”(Dokumen Kairo,1994).
Dalam buku yang berjudul “Muslimah Reformis” bahwa dalam kesehatan reproduksi mencakup pengertian bahwa setiap individu dapat menikmati kehidupan seks yang aman dan menyenangkan; setiap individu memiliki kemampuan untuk bereproduksi, serta memiliki kebebasan untuk menetapkan kapan dan seberapa sering mereka ingin bereproduksi, termasuk pula segala cara pengaturan fertilitas yang tidak bertentangan dengan undang-undang. Sedangkan maksud dari hak-hak reproduksi antara lain hak untuk mengambil keputusan dalam reproduksi dan hak untuk hidup, yaitu setiap perempuan mempunyai hak untuk dibebaskan dari resiko kematian karena kehamilan dan melahirkan.
Pembahasan tentang hak dan kesehatan reproduksi perempuan ditingkat global, memang pertama kali terjadi di Kairo pada Konferensi Kependudukan dan Pembangunan (ICPD) tahun 1994, yang kemudian melahirkan dokumen Kairo.
Salah satu yang menyebabkan munculnya pembahasan tentang Hak Kesehatan Reproduksi Perempuan adalah anggapan adanya kecenderungan hak-hak reproduksi perempuan diabaikan dan masih adanya ketimpangan dalam memikul tanggung jawab proses reproduksi pada pundak perempuan, yang salah satunya diindikasikan dengan tingginya Angka Kematian Ibu melahirkan (AKI).
Selain itu perempuan dianggap sebagai korban pertama pelanggaran hak asasi manusia, termasuk di ruang yang sangat pribadi dan dianggap paling aman sekalipun, yakni dalam posisi perempuan sebagai isteri.
Diindikasikan bahwa pelanggaran hak-hak perempuan lebih banyak terjadi pada masalah yang berkaitan dengan fungsi reproduksi, dan konflik suami isteri (keluarga), yang seringkali berakhir dengan perceraian.
Maka sebagai kelanjutan hak perempuan dalam keluarga, diprioritaskan juga hak-hak perempuan untuk mendapatkan perlindungan fungsi dan kesehatan reproduksi. Oleh karena itu muncullah UU Penghapusan KDRT (Kekerasan dalam Rumah Tangga) yang mengacu pada Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) Pasal 11 Ayat 1, yang menyatakan,”Hak-Hak perempuan untuk mendapatkan perlindungan kesehatan dan keamanan dalam kondisi kerja, termasuk usaha perlindungan fungsi reproduksi”.

AKAR PERMASALAHAN

Berbicara tentang hak-hak reproduksi bagaimanapun akan mengarah kepada lingkup pembicaraan yang luas, seperti pembicaraan tentang relasi laki-laki dan perempuan, baik dalam ranah domestik maupun publik. Dan secara spesifik, pembicaraan tentang hak-hak reproduksi terfokus pada masalah-masalah perkawinan, kehamilan, kelahiran, perawatan, dan pengasuhan anak, termasuk pembicaraan tentang aborsi, penyakit seksual menular dan HIV/AIDS, KB dengan seluruh permasalahannya, serta masalah perilaku seksual.
Dengan meneliti secara mendalam terhadap definisi hak dan kesehatan reproduksi perempuan, sungguh telah terkandung pemahaman yang tidak sesuai dengan hati nurani siapapun yang mengaku sebagai manusia bermoral.
Sebagaimana yang diungkapkan oleh dr. P.Y. Kusuma T., SpOG dalam bukunya yang berjudul ”Apa yang mungkin terjadi bila RUU Kesehatan dilegalkan?” yang disajikan dalam bentuk tanya jawab dalam sebuah forum pertemuan, yang mempertanyakan bahwa hak reproduksi perempuan memungkinkan seorang perempuan menikah dengan siapa saja termasuk hidup bersama dengan sesama jenis, seorang isteri dapat mengadukan ke polisi bahwa suaminya telah memperkosa dirinya, tetapi keesokan harinya dia (si perempuan) boleh saja berselingkuh dengan teman sekantornya, karena hal itu termasuk hak seksual perempuan, dan seorang perempuan boleh juga untuk menggugurkan kandungan yang tidak diinginkannya.
Maka bukan hal yang mustahil jika akhirnya terjadi ketidakjelasan hubungan suami isteri dalam keluarga, memicu perselingkuhan, konflik suami isteri dalam rumah tangga, merebaknya pergaulan bebas, dan merebaknya aborsi baik oleh pasangan yang menikah karena kehamilan yang tidak diinginkan (KTD), yang kehamilannya itu disebabkan oleh kegagalan KB atau karena berhubungan seksual dengan pasangan tidak resmi, maupun pasangan pranikah yang hamil akibat pergaulan bebas.
Ini semua dapat terjadi karena hak reproduksi perempuan memang memberikan hak kepada perempuan untuk bereproduksi atau tidak, baik dengan pasangan resmi atau bukan, yang dapat dilakukan pra atau pasca pernikahan, dll.

Selain itu penggunaan alat kontrasepsi pramerital juga banyak terjadi. Seperti kesaksian seorang murid SMP yang ada di Mindanau, Filipina Selatan, bahwa di sekolahnya ada pelayanan klinik KB untuk murid-murid sekolah SMP tersebut (P.Y. Kusuma T.)
Isu tentang hak-hak dan kesehatan reproduksi telah memunculkan efek yang cenderung amoral. Akan tetapi jika dicermati betapa gencarnya upaya penggalangan dukungan untuk mengamandemen UU Kesehatan No.23/1992, yang mengarah kepada upaya legalisasi aborsi, atas nama hak-hak dan kesehatan reproduksi perempuan, maka sesungguhnya ada muatan politis yang tersembunyi dibaliknya.
Yaitu upaya penanaman ide kebebasan dengan kemasan hak asasi yang sesungguhnya mendorong kepada gaya hidup permisif.
Memang, Barat dengan ideologi Sekulernya selalu berupaya dengan berbagai cara untuk menyebarkannya ke negara lain di dunia terutama negeri-negeri Muslim, untuk menjauhkan Islam dari Kaum Muslimin. Termasuk ide kebebasan yang dikemas sebagai hak-hak dan kesehatan reproduksi perempuan yang telah dipropagandakan Barat dengan kedok bantuan kemanusiaan.
Salah satu bukti Barat punya kepentingan dalam agenda ini adalah adanya target dari ICPD dana sebesar US $ 15 milyar untuk kampanye Hak dan Kesehatan Reproduksi. Dana yang sudah disetujui untuk mencapai target ICPD tahun 2005 adalah US$ 18,5 milyar.
Muatan politis jelas terlihat dalam isu hak dan kesehatan reproduksi perempuan ini. Benarkah Barat memberikannya sekedar gratis? Atau seperti pepatah Inggris terkenal berrbunyi “No free lunch”.

MASALAH BARU

Buruknya jaminan pelayanan kesehatan bagi perempuan maupun masyarakat umum memang merupakan fakta di tengah masyarakat yang harus diselesaikan dengan tuntas dan segera.
Akan tetapi penyelesaian dengan menggunakan solusi dari Sekuler Barat sangatlah tidak tepat.
Bagaimanapun isu Hak dan Kesehatan Reproduksi Perempuan yang digembar-gemborkan tidaklah setulus hati menyuarakan peningkatan kualitas kesehatan perempuan, melainkan hanyalah dalih yang digunakan Barat untuk mempropagandakan ide-ide kebebasan yang sekuler.
Sebagai buktinya, Barat dengan sistem Sekulernya, telah menganalisa bahwa untuk meningkatkan kualitas kesehatan perempuan dengan menurunkan angka kematian ibu, maka aborsi harus dilakukan dengan aman --sebagai kata ganti dari dilegalkan.
Padahal kalau kita menganalisa dengan lebih dalam, faktor yang berkontribusi langsung terhadap tingginya angka kematian ibu adalah pendarahan 25%, eklampsia (tekanan darah tinggi saat hamil) 13%, aborsi 11%, dan sepsis (adanya bakteri dalam darah) 10%. Sedangkan faktor tidak langsung antara lain anemia pada ibu hamil, anemia pada ibu nifas, kekurangan energi kronik, dan 3T (terlambat mengambil keputusan, terlambat ke fasilitas kesehatan, terlambat mendapat pertolongan).
Dengan melihat persentase itu, jelas bahwa aborsi bukan penyebab yang paling bertanggung jawab atas angka kematian ibu.

Penyelesaian permasalahan apapun dalam kehidupan dengan menggunakan sistem Sekuler ala Barat yang didasarkan pada pemisahan agama dengan kehidupan, telah menjadikan manusia cenderung mengagungkan hukum manusia yang lemah dan mencampakkan hukum Sang Pencipta yang agung.
Sekulerisme dan liberalisme Barat yang menjadikan HAM dan kebebasan sebagai ‘agama’ baru, terbukti tidak mampu untuk menyelesaikan permasalahan, malah cenderung memunculkan permasalahan baru yang mengarah kepada dekadensi moral.
Alih-alih meningkatkan hak dan kesehatan reproduksi perempuan, sistem Sekuler justeru telah merendahkan dan merugikan perempuan.
Sebagai contoh, benarkah legalisasi aborsi berkontribusi positif terhadap hak dan kesehatan perempuan?
Pada faktanya tidaklah demikian, karena para perempuan yang telah diaborsi janinnya, sejatinya secara fisik telah dirusak dan diporak-porandakan kesehatan fungsi reproduksinya dan secara psikis telah membuat perempuan menderita.
Ginekolog dan konsultan seks dr. Boyke Dian Nugraha mengemukakan bahwa mayoritas perempuan pelaku aborsi, secara psikologis akan menderita. Ini terbukti dari hasil penelitian yang dilakukan terhadap perempuan pelaku aborsi.
''Penelitian menunjukkan mereka kehilangan harga diri (82 persen), berteriak-teriak histeris (51 persen), mimpi buruk berkali-kali mengenai bayi (63 persen), ingin bunuh diri (28 persen), terjerat obat-obatan terlarang (41 persen), dan tidak bisa menikmati hubungan seksual," katanya dalam sebuah acara di Auditorium Rektorat Kampus Institut Pertanian Bogor (IPB), Senin (10/10). (Republika, 11/10/2005).
Ide kebebasan yang telah dicekokkan Barat atas nama hak dan kesehatan reproduksi perempuan ke negeri-negeri Muslim, tak ayal telah merusak tatanan keluarga dan masyarakat Muslim yang selama ini paling dijaga ketat.
Dengan isu hak kesehatan reproduksi perempuan, tak pelak telah menggeser makna sebuah keluarga. Keluarga tidak lagi menjadi institusi resmi untuk melanjutkan keturunan manusia. Dengan agama kebebasan, Barat mendefiniskan keluarga menjadi,” Siapa saja hidup bersama atas dasar cinta apapun tujuannya, dengan siapapun, untuk berapa lamapun, dia membentuk keluarga”. Temasuk halalnya kumpul kebo, homoseksual, lesbian, cerai gonta-ganti pasangan.
Jika demikian defenisinya, maka, hingga kapanpun, gagasan itu akan terus dilawan dan berhadap-hadapan dengan Islam.

* bekerja di Perpustakaan Biologi FMIPA ITB
ISU KDRT: Antara Fakta dan Propaganda

Dimuat di Majalah al Waie, no.66 , Pebruari 2006.


Oleh: H. Anggarawaty
(Aktivis Hizbut Tahrir Indonesia)



Ada ungkapan yang mengatakan,"Bila di luar rumah banyak penjahat yang senantiasa mengancam kenyamanan dan keamananan kita, di rumah malah jauh lebih tidak aman." Alasannya, kejahatan di luar rumah lebih mudah untuk dideteksi, sedangkan kejahatan di dalam rumah-berupa tindak kekerasan-saat ini sulit dideteksi penegak hukum. Masalahnya, selain terlindung oleh pernikahan sebagai lembaga pengikat, Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) juga masih tertutup dan selalu dianggap sebagai masalah domestik.

Ungkapan di atas sering didengungkan oleh para aktivis feminis yang menganggap bahwa perempuan merupakan korban pertama pelanggaran HAM-sebagai korban KDRT-sekalipun di tempat yang dianggap paling aman, yakni dalam keluarga.

Badan Kesehatan Dunia (WHO) bekerjasama dengan Sekolah Kesehatan dan Kedokteran Tropis London, dan PATH-suatu organisasi kesehatan dunia-telah melakukan studi tentang kesehatan perempuan dan kekerasan rumah tangga terhadap perempuan yang dirilis pada tanggal 30 November 2005. Peneliti mewawancarai 24.000 perempuan di 15 lokasi di sepuluh negara yang dianggap mewakili, yaitu Banglades, Brazil, Etiopia, Jepang, Namibia, Peru, Samoa, Serbia dan Montenegro, Republik Tanzania dan Thailand. (www.who.int/en). Mereka menemukan seperempat sampai separuh dari para wanita tersebut telah menjadi korban kekerasan secara fisik oleh pasangan mereka. Perempuan yang menjadi korban kekerasan kemungkinan besar berpeluang dua kali lipat untuk mempunyai masalah kesehatan fisik dan mental yang lemah dibandingkan dengan perempuan yang bukan korban kekerasan, sekalipun kekerasan tersebut banyak terjadi tahun yang lalu. Satu dari sebelas korban kekerasan oleh pasangannya mengatakan bahwa mereka telah mencoba bunuh diri.

Disebutkan pula, berdasarkan studi di banyak negara, 4-12% wanita hamil dilaporkan dipukul selama kehamilan, Lebih dari separuh wanita hamil ini telah ditendang perutnya. Para wanita yang melaporkan kekerasan fisik dan seksual yang dialaminya lebih sedikit daripada yang tidak melapor. Di Indonesia, menurut catatan Mitra Perempuan, hanya 15,2% perempuan yang mengalami KDRT menempuh jalur hukum, sedangkan mayoritas (45,2%) memutuskan pindah rumah dan 10,9% memilih diam. Sampai saat ini isu KDRT merupakan isu yang seolah tidak pernah berhenti untuk dipropagandakan. Apalagi ada anggapan mengenai belum efektifnya pemberlakuan UU KDRT No. 23 tahun 2004 yang telah ditetapkan setahun yang lalu. Padahal UU KDRT dianggap dapat menyelesaikan atau mengeliminasi kasus kekerasan yang kerap terjadi dalam rumah tangga. Namun, pada faktanya, angka kasus KDRT masih saja tinggi. Asisten Deputi Urusan Tindak Kekerasan Terhadap Perempuan Kantor Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan, dr. Heru Kasidir, MSc. mengatakan, kasus KDRT di Indonesia cukup tinggi kendati belum ada data kongkret tentang hal itu. Namun, Juni 2006 survei pendataan angka tindak kekerasan itu akan dilakukan dan bakal dimasukkan dalam data sosial-ekonomi, dan pada September 2006 baru ada hasilnya. (Republika, 19/12/2005).

Data statistik lengkap mengenai kasus KDRT di seluruh Indonesia memang belum tersedia. Namun, terdapat sejumlah informasi dari LSM dan organisasi perempuan, khususnya Women's Crisis Centre yang khusus menerima pengaduan dan membantu korban kasus KDRT, yang mengungkap fakta tersebut. Mitra Perempuan Women's Crisis Centre di Jakarta mengaku, selama periode 1997-2002 telah menerima pengaduan 879 kasus kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga yang terjadi di Jakarta, Bogor, Tangerang, Bekasi, dan sekitarnya. Pelaku kekerasan terbanyak dilakukan suami korban, yakni sebesar 69-74 persen. Rifka Annisa Women's Crisis Centre di Yogyakarta, selama 1994-2000, menerima pengaduan 994 kasus kekerasan terhadap istri oleh suami yang terjadi di Yogyakarta dan Jawa Tengah. Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan bahkan pernah mengatakan, 11,4 persen dari 217 juta penduduk Indonesia, atau sekitar 24 juta perempuan, terutama di pedesaan, mengaku pernah mengalami kekerasan, dan terbesar adalah domestic violence (kekerasan dalam rumah tangga). (http://www.bkkbn.go.id/article).

Kesulitan penanganan permasalahan KDRT sebenarnya wajar terjadi, karena terdapat ketidakjelasan dalam pendefinisian KDRT itu sendiri. Dalam UU No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) disebutkan, bahwa definisi Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis dan/atau penelantaran rumah tangga; termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.

Akan tetapi, Dra. VG Tinuk Istiarti M.Kes dari Pusat Studi Wanita/Gender Universitas Diponegoro menyebutkan, suatu kejadian dapat digolongkan KDRT jika ada pihak yang merasa dirugikan. Ia mencontohkan perlakuan sadisme yang terjadi dalam hubungan intim suami-istri. ''Meskipun hal tersebut tergolong KDRT, jika kedua belah pihak melakukannya dengan sadar dan tanpa keterpaksaan, ya tidak dapat dilaporkan ke polisi.''
 (http://www.suaramerdeka.com/cybernews/harian/0512/10/dar11.htm).

Bahkan kekerasan terhadap laki-laki (salah satu contohnya perang/konflik bersenjata lainnya) yang memungkinkan berdampak terhadap perempuan dapat dikategorikan sebagai kekerasan terhadap perempuan. (
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0011/29/iptek/memb25.htm).

Dengan ketidakjelasan definisi seperti ini, maka wajarlah jika penyelesaian hukum menjadi tidak jelas dan tidak tuntas.

Motif dan Aktor
Korban KDRT tidak selalu perempuan. Akan tetapi, pembicaraan mengenai KDRT sering mengarah pada anggapan umum bahwa korban hampir selalu perempuan, dan pelaku hampir selalu laki-laki. Padahal bisa saja hal itu terjadi sebaliknya, dalam arti, kekerasan dapat dilakukan baik oleh laki-laki maupun perempuan dan korbannya bisa laki-laki ataupun perempuan. Menurut Azis Hoesein, kekerasan terhadap perempuan bukanlah masalah yang terjadi di Indonesia saja, tetapi juga menjadi masalah perempuan di seluruh dunia. Untuk itu, masalah kekerasan terhadap perempuan merupakan salah satu dari 12 critical area of concern hasil pertemuan Konferensi Perempuan Sedunia ke-4 di Beijing tahun 1995.

Memang, latar belakang munculnya propaganda Isu KDRT sebenarnya tidak lepas dari motif kesetaraan jender yang selama ini dipropagandakan oleh kaum feminis, terutama dari negara-negara Barat yang menerapkan sistem kapitalis-sekular. Sebelum diberlakukannya UU No. 23/2004 tentang KDRT, Indonesia telah meratifkasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan atau Convention on the Elimination of All Forms of Descrimination against Women (CEDAW) sejak 21 tahun lalu, yakni melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984. Dalam memperjuangkan kesetaraan dan keadilan bagi perempuan, Konvensi CEDAW tidak berdiri sendiri, tetapi merupakan salah satu dari rangkaian konvensi yang saling berkaitan satu dengan yang lainnya. Konvensi yang dilakukan sesudahnya akan mempertajam arah dan tujuan yang telah ditetapkan pada konvensi sebelumnya.

Penasihat jender Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Sjamsiah Achmad mengatakan, Konvensi CEDAW yang dideklarasikan tahun 1979 didukung oleh kegiatan lain, seperti memiliki Kerangka Aksi (Platform for Action) Beijing 1995 dan Tujuan Pembangunan Milenium (Millenium Development Goals/MDG). Menurut Sjamsiah, MDG lahir dari Deklarasi Milenium, konsensus global oleh 189 negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 2000. Deklarasi Milenium menggarisbawahi kepentingan absolut untuk kemajuan HAM bagi semua orang. Untuk mencapai hal ini, pemajuan perempuan menuju kesetaraan jender diakui sebagai kebutuhan dasar. Deklarasi Milenium secara khusus juga bertekad memberantas semua bentuk kekerasan terhadap perempuan dan melaksanakan Konvensi CEDAW. Peran sentral kesetaraan jender juga menjadi fokus utama Deklarasi Milenium.
(Kompas, 30/7/2005).

Tampak jelas bahwa isu KDRT tidaklah sekadar permasalahan yang terjadi di tengah masyarakat. Lebih dari itu, ia merupakan propaganda yang dihembuskan oleh kaum feminis sebagai aktornya. Sementara itu, motif kesetaraan jender adalah esensi dari isu KDRT itu sendiri. Padahal tuntutan kesetaraan jender sebenarnya merupakan tuntutan para wanita Barat yang menerapkan sistem kapitalis-sekular.

Isu KDRT Menyerang Hukum Islam
Budaya patriarki dan agama sering menjadi target serangan isu KDRT. Sebab, budaya patriarki dan agama sering dianggap sebagai penyebab terjadinya KDRT, sekaligus sebagai penyebab tidak banyak terungkapnya kasus KDRT. Akibatnya, kasus KDRT seperti fenomena gunung es yang hanya menampakan puncaknya saja. "Hampir semua institusi sosial memakai nilai-nilai patriarki," tegas Julia Suryakusuma, "termasuk di dalamnya lembaga negara, hukum, pendidikan, agama, norma-norma, media massa, keluarga, dan tentunya militer. (www.kompas.com).


Lebih khusus lagi, isu KDRT telah menyerang hukum-hukum Islam, terutama yang berkaitan dengan aturan relasi antara laki-laki dan perempuan-misalnya aturan mengenai kepemimpinan laki-laki (suami) atas perempuan (istri); poligami; keharusan istri mengabulkan permintaan suami di tempat tidur; hak suami dalam mendidik istri dalam kasus nusyûz, yang membolehkan laki-laki memukul istri sebagai ta'dîb (mendidik); dan sebagainya.

Kaum feminis telah menganggap aturan tentang kepemimpinan laki-laki/suami atas perempuan/istri sebagai arogansi kekuasaan laki-laki atas perempuan. Poligami dan keharusan istri memenuhi permintaan suami di tempat tidur dianggap sebagai kekerasan seksual yang terjadi atas perempuan, bahkan dikatakan sebagai pemerkosaan dalam perkawinan (marital rape). Adapun kasus perlakukan suami terhadap istri yang melakukan nusyûz (pembangkangan terhadap suami) dianggap oleh kaum feminis sebagai kekerasan seksual sekaligus kekerasan fisik. Oleh karena itu, menurut kaum feminis, ayat-ayat tentang kepemimpinan (QS an-Nisa' [4]: 34), hadis Nabi saw. riwayat al-Bukhari tentang kepemimpinan Kisra, ayat tentang poligami (QS an-Nisa' [4]: 3), hadis Rasul tentang keharusan istri mengabulkan permintaan suami di tempat tidur dan laknat malaikat atasnya, juga ayat tentang nusyûz (QS an-Nisa' [4]: 34) adalah bias jender dan karenanya perlu direkonstruksi.

Tidak hanya itu, isu KDRT yang dihembuskan kaum feminis juga telah menjungkirbalikkan relasi suami-istri dalam rumah tangga. Kaum feminis berpendapat bahwa kepala keluarga/rumah tangga ditentukan oleh seberapa dominan salah satu pihak secara ekonomi. Kaum feminis memandang, dengan terbukanya peluang kerja bagi perempuan, maka perempuan mungkin untuk mencari nafkah. Oleh karena itu, pihak yang memiliki penghasilan lebih besar, dialah yang menjadi kepala keluarga.

Kaum feminis juga menganggap domestikasi perempuan sebagai salah satu bentuk kekerasan dalam rumah tangga. Sebab, domestikasi perempuan sebagai ibu pendidik generasi dan pengatur rumah tidak menghasilkan uang. Akibatnya, secara ekonomi perempuan akan senantiasa bergantung pada laki-laki, dan tidak memiliki posisi tawar jika diperlakukan seenaknya oleh laki-laki. Secara terpaksa perempuan akan menerima perlakuan seperti itu, karena khawatir kehilangan sumber ekonominya. Hal ini dipandang oleh kaum kapitalis sebagai salah satu penyebab tersubordinasinya perempuan. Oleh karena itu, kaum feminis mendorong perempuan untuk beraktivitas di sektor publik yang cenderung bernilai ekonomi. Dengan begitu, dengan kemampuan akses terhadap sumber ekonomi, perempuan akan mampu untuk memperjuangkan kesetaraan jender.

Walhasil, isu KDRT tidak semata-mata merupakan permasalahan yang terjadi di tengah masyarakat, tetapi telah menjadi alat kaum feminis untuk melegitimasi gagasan kesetaraan jender dan menyerang hukum-hukum Islam. Kaum feminis telah memandang sempit permasalahan kekerasan dalam rumah tangga hanya terfokus pada korban perempuan dan pelaku laki-laki. Padahal kekerasan bisa menimpa siapa saja dan pelakunya tidak hanya laki-laki. Wallâhu a'lam bi ash-shawâb.
Soal Pornografi, Kenapa Tak "Melirik" Islam? *

Dimuat di http://www.hidayatullah.com/    Jumat,17 Maret 2006

Kalau saja, para artis, seniman, dan kalangan yang selalu berdalih bahwa defenisi pornografi dan pornoaksi 'tak jelas' sedikit saja mau melirik 'konsep Islam', mungkin, masalah tak serumit ini

*Oleh: Hera Anggarawaty *)*

Menjelang saat pengesahannya oleh DPR RI yang direncanakan akan dilakukan pada bulan Juni 2006 besok, tidak dapat dipungkiri, pro-kontra RUU Anti pornografi dan pornoaksi (RUU APP) kian memanas saja.

Sebagaimana diketahui, kasus tindak pornografi dan pornoaksi memang sudah berlangsung sejak lama. Selama tahun 1956-1971 saja dalam catatan detik.com setidaknya terdapat 10 orang penanggungjawab media terkena hukuman karena menyiarkan materi seks.

Meski pasca tahun 1971 tidak ada lagi penanggungjawab media yang diajukan ke pengadilan, bukan karena disebabkan adanya perubahan pandangan terhadap nilai kesusilaan, akan tetapi lebih karena pasca era 1970 jika terdapat media yang menyiarkan pornografi diancam dengan teguran keras sampai dicabutnya SIUPP oleh Departemen Penerangan.

Dengan kebijakan ini majalah Jakarta-Jakarta sekitar tahun 1987 dan Popular pada tahun 1991 pernah diberi teguran tertulis secara keras dari Deppen.

Tahun 1984 pengadilan telah memutuskan Dewi Anggraini Kusuma dijatuhi hukuman penjara 3 bulan karena kasus kalender bugil, yang setelah melakukan proses banding, mendapatkan grasi dari presiden berupa keringanan hukuman pidana bersyarat selama 14 hari. Pada Juni 2000 Pengadilan Negeri Jakarta memvonis tokoh teater Nano Riantiarno hukuman selama 5 bulan penjara. Vonis dijatuhkan karena majalah Matra  yang dipimpinnya memuat materi yang dinilai asusila. (detik.com.19/1/2006)

Kasus terbaru tentang tindak pornografi dan pornoaksi ini adalah kasus goyang ngebor Inul Daratista, foto telanjang Anjasmara dan fotomodel Isabel Yahya dalam pameran CP Bienalle 2005. Januari 2006 lalu juga heboh dengan munculnya aksi nudis 2 gadis Bali di internet (detik.com 17/1/2006).

Apakah sesudah itu tayangan pornografi dan pornoaksi berhenti? Tidak juga. Masih banyak kasus yang lain yang terjadi dan tidak tersentuh hukum. Selain Deppen sudah tidak ada, hukum yang ada tidak mampu menjerat tindak pornografi dan pornoaksi. Penyebab yang lainnya adalah karena ketiadaan definisi yang jelas tentang pornografi dan pornoaksi.

Kalangan seniman dan budayawan cenderung memandang pornografi sebagai seni, yang tidak boleh dicampuri oleh agama. Sebagaimana diketahui, seni sekuler (maksudnya yang lahir dari Barat) mengembangkan logika, bahwa seni adalah seni yang punya nilai sendiri, dan agama adalah agama yang harus tahu batas-batasnya. Jika seni dimasuki nilai agama maka hancurlah kesenian. (hidayatulah.com 5-10-2005). Dan umumnya, para pengusung liberalisme yang berlindung dibalik HAM memandang larangan terhadap pornografi hanyalah akan mengekang kebebasan berekspresi.

Dengan berlindung pada definisi kabur tentang pornografi dan pornoaksi ataupun berlindung dibalik "art", tindak pornografi dan pornoaksi malah semakin marak dan telah sampai pada taraf meresahkan masyarakat.

Buktinya, begitu maraknya tayangan-tayangan yang mengumbar aurat baik media elektronik maupun cetak. Seperti dalam sinetron, film, tayangan tengah malam, VCD, DVD, internet bahkan penyebaran via ponsel. Belum lagi kemudahan untuk mendapatkan media syur menambah parahnya kondisi moral bangsa ini. Cukup dengan 1000 rupiah, tabloid syur dapat dibeli di lapak-lapak pinggir jalan oleh siapa saja dan kapan saja.(detik.com). Dengan sangat menyedihkan, pornografi seolah telah menyatu menjadi perilaku masyarakat, maka tidak mengherankan jika Indonesia ditempatkan sebagai surga pornografi kedua setelah Rusia berdasarkan hasil riset kantor berita AP. (Republika, 17/07/2003).

Oleh karena itu pihak yang mendukung dilarangnya tindak pornografi dan pornoaksi dan cenderung mendukung disahkannya RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi (APP), menilai tindak pornografi dan pornoaksi telah semakin merajalela dan dampaknya sudah sangat meresahkan dan sangat berbahaya
bagi keselamatan generasi mendatang.

Penelitian yang dilakukan Pusat Studi Hukum Universitas Islam Indonesia menyebutkan sekitar 15 persen dari 202 responden remaja berumur 15 - 25 tahun sudah melakukan hubungan seks, karena terpengaruh oleh tayangan pornografi melalui internet, VCD, TV dan bacaan pornografi. Dari penelitian tersebut juga terungkap 93,5 persen remaja telah menyaksikan VCD porno dengan alasan sekadar ingin tahu 69,6 persen dan alasan lain hanya 18,9 persen.(Suara Merdeka, 29 November 2003).

Seolah menutup mata terhadap akibat yang ditimbulkan, para artis, seniman, budayawan, para pengusung Liberalisme, sebagai kalangan yang kontra terhadap RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi (RUU APP), mereka beramai-ramai menentang upaya pemerintah yang hendak memberantas tindak pornografi dan pornoaksi ini. Sementara berbagai pihak yang merasa gerah dengan aksi pornografi dan pornoaksi yang telah terjadi selama ini juga berupaya kuat untuk mendukung upaya pemerintah. Maka pro dan kontra terhadap permasalahan pornografi dan pornoaksi dan rencana disahkannya RUU APP tidak dapat dihindari.
*
Mengapa pro dan kontra?*

Indonesia yang berpenduduk mayoritas Muslim semestinya memiliki satu suara dalam memandang permasalahan pornografi dan pornoaksi, yaitu mendukung diterapkannya aturan tentang larangan pornografi dan pornoaksi. Akan tetapi dengan berbagai alasan, walaupun mereka muslim tetap saja ada yang menolak diterapkannya larangan tentang pornografi dan pornoaksi.

Hal ini terjadi karena cengkraman sistem Kapitalisme yang diterapkan di Indonesia yang menganut ide kebebasan, telah menjadikan masalah pornoaksi dan pornografi adalah hal yang wajar saja dilakukan, dengan alasan kebebasan berekspresi. Oleh karena itu seni dalam kapitalisme dianggap bebas nilai, sehingga menafikan agama. Maka pendapat para pengusung liberalisme dan kaum seniman (yang sekuler) dalam memandang persoalan pornografi dan pornoaksi cenderung setali tiga uang, hatta, mereka mengaku seorang Muslim.

Pemerintah sendiri memandang tindak pornografi dan pornoaksi yang tengah terjadi sudah tidak dapat ditolerir lagi dan berupaya untuk menghentikannya. Seperti yang dikatakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang menegaskan, bahwa kegiatan pornografi dan pornoaksi yang sekarang terjadi di masyarakat tidak bisa ditoleransi lagi. Hal ini dikatakan ketika Presiden menerima Menpora Adhyaksa Dault bersama Menneg Pemberdayaan Perempuan (PP) Meutia Hatta di Kantor Kepresidenan Jakarta,
Senin (28/3). (PR, 29 Maret 2005 )

Pemerintah menganggap telah melakukan usaha maksimum, termasuk penandatanganan nota kesepahaman (memorandum of understanding-MoU) pemberantasan dan penanggulangan pornografi dan pornoaksi, yang ditandatangani oleh dua instansi yang dipimpin Menpora dan Menneg Pemberdayaan Perempuan pada April 2005. MoU ini dibuat sambil menunggu diberlakukannya RUU APP, sekaligus memacunya agar segera  menandatangani.

Upaya pemerintah dalam membuat RUU APP ini memang didukung oleh pihak yang mendukung pemberantasan terhadap pornografi dan pornoaksi. Akan tetapi baik pihak yang pro maupun yang kontra terhadap RUU APP, keduanya masih memandang adanya pasal-pasal karet dan kekaburan definisi dan tentu saja dengan alasan yang berbeda. Pihak yang kontra terhadap RUU APP memandang pasal-pasal RUU APP akan menghalangi kebebasan berekspresi, menghancurkan industri pariwisata dan hiburan, menghancurkan adat istiadat sebagian bangsa Indonesia, dll. Bahkan Kepala Pusat Studi Andrologi dan Seksologi Universitas Udayana dr. Wimpie Pangkahila menyebut RUU APP akan menjadikan bangsa Indonesia terbelakang (detik.com, 11-3-2006)

Adapun pasal-pasal yang pengertiannya masih kabur menurut pihak yang pro terhadap RUU APP ini, justeru masih memungkinkan lolosnya beberapa tindakan pornografi dan pornoaksi. Namun, walaupun RUU APP ini merupakan salah satu upaya pemberantasn tindak pornografi dan pornoaksi, sampai kini permasalahan pornografi dan pornoaksi masih belum terselesaikan. Sebab, yang terjadi hanyalah 'tiarap sementara' sambil menanti hasil akhir penggodokan RUU APP. Tidak menutup kemungkinan jika RUU APP "berhasil" dikompromikan antara yang pro dan kontra, tindak pornografi dan pornoaksi akan kembali marak.

Seperti yang diberitakan detik.com (12-3-2006), dari rencana 11 Bab 93 Pasal, RUU APP kini telah menyusut menjadi 8 Bab 82 pasal setelah dilakukan kesepakatan draft kedua. Jadi sekitar 11 pasal telah dihapus, antara lain yang berkaitan tentang ciuman dan pakaian.

Berkaitan dengan definisi, dalam RUU APP draft pertama dalam Bab1 Pasal 1 dan 2 berbunyi: pornografi adalah substansi dalam media atau alat komunikasi yang dibuat untuk menyampaikan gagasan-gagasan yang mengeksploitasi seksual, kecabulan, dan/atau erotika. Pornoaksi adalah perbuatan mengeksploitasi seksual, kecabulan, dan/atau erotika di muka umum.

Tetapi dalam RUU APP draft kedua Pansus menyepakati definisi pornografi dikembalikan kepada definisi Yunani. Draft kedua berbunyi, pornografi berasal dari bahasa Yunani, porne yang artinya pelacur, dan graphein yang artinya gambar atau tulisan. Sedangkan pornoaksi adalah pornografi yang dijual kepada masyarakat (detik.com 12-3-2006). Draft kedua ini telah disetujui oleh 8 dari 10 fraksi di DPR (PDS belum memberikan suaranya karena izin dan PDIP masih konsultasi dengan Ketua Umum PDIP).

Dengan definisi yang ada di draft yang pertama saja masih kabur, apalagi dengan definisi di draft yang kedua yang justeru semakin tidak jelas, tentunya tidak akan mampu mengkategorikan setiap tindak pornografi dan pornoaksi yang selama ini beredar di tengah masyarakat. Akibatnya akan banyak sekali kasus pornografi dan pornoaksi yang tidak terjerat hukum.

Ini baru berbicara tentang masalah definisi apalagi jika setiap pasalnya diteliti, misalnya pasal-pasal tentang berciuman dan pakaian. Tidak dijelaskan pasal mana saja yang berkaitan tentang berciuman dan pakaian yang dihapus. Pada draft pertama, pasal tentang berciuman dan pakaian ini sudah kabur, apalagi setelah dihapuskan semuanya di draft kedua. Tentunya masyarakat akan semakin seenaknya mengenakan pakaian, tidak peduli pakaiannya tersebut mampu menutupi tubuhnya atau tidak.
*
Mengapa Tak Mencoba Islam? *

Seaindainya saja para kaum sekuler mau sedikit 'melirik' (soalnya, draf RUU APP itu belum apa-apa sudah dituduh berbau Arab oleh Gunawan Mohammad), maka, seharusnya masalah tidaklah seribut ini. Juga tidak membingungkan. Bukan apa-apa, sebab Islam, kalau hanya menyangkut persoalan seperti ini, punya batasan yang jelas. Utamanya dalam memberikan penyelesaian.

Sebagaimana sudah dikutip juga oleh hidayatullah.com, dalam Islam dikenal batasan aurat. Dan itu, jauh lebih luas dan luqas, dibanding cuma defenisi batasan apa itu pornografi dan pornoaksi, yang selalu menjadi 'mesiu' kalangan seminan bermain kata-kata.

Dalam Islam, batasan aurat jelas. Aurat wanita adalah seluruh tubuhnya kecuali wajah dan kedua telapak tangan, sebagaimana yang dijelaskan dalam Al-Qur'an.

Allah berfirman," Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung". (TQS.AnNur (24) : 31

Bagian tubuh "yang biasa tampak" yang disebutkan dalam Al Qur'an diperjelas dalam hadist yang diriwayatkan oleh 'Aisyah ra ketika saudarinya Asma masuk ke rumah 'Aisyah ra dengan mengenakan pakaian tipis. Rasulullah SAW berkata,"Wahai Asma, sesungguhnya wanita yang telah haid tidak boleh nampak darinya kecuali ini dan ini (Rasul saw berkata seraya menunjuk wajah dan telapak tangannya).

Melihat batasan aurat dalam Al Qur'an dan hadits tersebut, maka batasan aurat wanita dalam Islam adalah seluruh tubuhnya kecuali wajah dan kedua telapak tangan. Oleh karena itu di dalam Islam jika seseorang menampakkan bagian tubuh yang lain selain wajah dan kedua telapak tangan, maka hal itu sudah termasuk pornografi.

Demikian juga dengan aurat laki-laki, dalam Islam juga sudah diberi batasan yang jelas, yaitu dari pusar sampai lutut. Oleh karena itu jika ada seorang laki-laki yang menampakkan anggota tubuhnya dari pusar sampai lutut, maka sudah terkategori pornografi. Dalam hadits disebutkan,"Aurat seorang mukmin adalah antara pusar dan lututnya."(HR.Baihaqi).

Maka defenisi pornografi, jika memakai defenisi Islam, adalah produk grafis (tulisan, gambar, film) --baik dalam bentuk majalah, tabloid, VCD, film-film atau acara-acara di TV, situs-situs di internet, bacaan-bacaan lainnya-- yang mengumbar sekaligus menjual aurat. Artinya, aurat menjadi titik pusat perhatian. Sedangkan pornoaksi adalah sebuah perbuatan memamerkan aurat yang digelar dan ditonton secara langsung; dari mulai aksi yang "biasa-biasa" saja seperti aksi para artis di panggung-panggung hiburan umum hingga yang luar biasa dan atraktif seperti tarian telanjang atau setengah telanjang di tempat-tempat hiburan khusus (diskotek-diskotek, klab-klab malam, dll). (Al Islam edisi 164, 30 Juli 2003).

Penting untuk ditegaskan bahwa, dalam konteks pornografi dan pornoaksi yang mengumbar aurat ini, yang dimaksud adalah aurat menurut syariat Islam. Jika memakai defenisi saja, penulis yakin tak akan ada perdebatan. Karena itu, jika RUU APP ini ditudahkan berbau Islam, penulis merasa justru tidak. Sebab kenyataannya, masih banyak yang ditolelir.

Namun dalam aturan Islam seperti ini, permasalahan pornografi dan pornoaksi hanya akan terlaksana dan mampu menyelesaikan permasalahan jika diterapkan dengan tiga pilar, yaitu individu yang bertakwa,
masyarakat, dan negara. Negara sebagai lembaga penaung yang berhak menerapkan aturan, sedangkan individu dan masyarakat, sebagai pengontrol tegaknya aturan di tengah-tengah mereka. Sebagaimana yang disebutkan dalam hadist,"Siapa saja yang melihat kemungkaran, hendaklah ia mengubah dengan tangan (kekuasaan)-nya; jika tidak mampu, dengan lisannya; jika tidak mampu, dengan kalbunya. Namun, itulah selemah-lemah iman". (HR Muslim).

Masalahnya, para pengambil kebijakan, kaum artis dan seniman, yang merasa paling getol menolak RUU APP ini mendengar suara hatinya. Yang di situ ada nasib anak-anak dan keluarganya, yang kelak akan menjadi incaran hewan menakutkan bernama 'pornografi'. Yang justru merisaukan, belum apa-apa, mereka justru menuduh RUU ini 'berbau Islam', dan menuduh pula kelak dikhawatirkan mematinya seni. Atau, jangan-jangan mereka bukan orang Muslim? Wallahu'alam.

**) Penulis lulusan Fak.Ilmu Komunikasi UNPAD, kini bekerja di Dep.
Biologi FMIPA-ITB*